Artikel Education, General And Islamic

Strategi Quantum Teaching dan Contoh Penerapannya

Artikel terkait : Strategi Quantum Teaching dan Contoh Penerapannya

Strategi Quantum Teaching - Pada kesempatan kali ini saya akan membahas beberapa strategi kuantum teaching sebagai salah satu faktor pendukung kecerdasan emosional anak dalam proses pertumbuhannya sebagai dasar yang akan bangun kepibadian di atasnya.

Image From teen.kapanlagi.com

Quantum teaching, memberikan enam kunci bagi para guru untuk membangun suasana yang menyenangkan: [1] 

Kekuatan terpendam niat 
Maksudnya adalah seseorang guru harus mempunyai niat yang kuat atau kepercayaan akan kemampuan dan motivasi siswa. Dari teorinya Deporter ini dapat dijadikan sebagai metode dalam melatih kecerdasan emosional siswa adalah dengan melakukan empati.  

Sebagaimana juga yang terdapat dalam metode mendidik anak dalam ajaran Islam, seperti dalam firman  Allah  SWT yang artinya “Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang  mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkatan yang` benar”.(QS. An-Nisa:9)[2] 

Ayat tersebut di atas dapat dijadikan pegangan oleh pendidik, bahwa sebelum mereka mendidik tentu saja harus bertakwa kepada Allah SWT dan berkata dengan perkataan yang benar dan diharapkan menjurus pada hukum yang benar. Dengan jalan menempatkan diri (berempati) pada orang lain sembari menghayati kelemahan mereka, niscaya ia akan benar-benar memperhatikan perkataan yang benar dan berdasarkan kepada takwa semata-mata karena Allah SWT, sehingga  mereka tidak menghiraukan anak yang  lemah.[3]

Sedemikian pentingnya niat kuat ini sehingga akhirnya dapat   berdampak pada peran psikologis siswa dalam belajar, dan dengan memperhatikan emosi siswa, maka guru dapat mempercepat pembelajaran siswa.  Demikian dengan memahami emosi siswa, guru dapat  membuat pembelajaran lebih berarti dan permanen. 

Jalinan rasa simpati dan saling pengertian 
Dengan adanya dua sifat ini maka keterlibatan antara siswa dan guru akan semakin erat, karena dengan hubungan, akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah siswa.

Dalam ajaran Islam, bersikap lemah lembut dan penuh kasih saying merupakan dasar dalam bermuamalah dengan anak. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam bergaul dengan anak-anak, beliau memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan baik didalam sikap atau perkataan beliau. Apabila ada  kesalahan yang dilakukan anak, beliau tidak segan-segan untuk menegur dengan lembut dan memberi penjelasan tentang letak kesalahnnya dengan memakai argumentasi yang logis dan  mudah dipahami oleh mereka. Sehingga mereka tidak mengalami kesalahan untuk yang kedua kalinya. 

Telah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Sesungguhnya Allah adalah zat yang lembut, dan setiap perkara senang pada kelembutan”. (HR. Bukhori  dan  Muslim)[4] 
Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW mengutusnya bersama Mu’adz ke negeri Yaman, dan Rasulullah  SAW berkata pada mereka berdua yang artinya “ Permudahlah dan janganlah kalian persukar, ajarkanlah ilmu dan  janganlah  kalian berlaku  tidak simpati” ( H.R Muslim) [5]

Keriangan dan ketakjuban 
Dengan keriangan kegiatan belajar-mengajar akan lebih menyenangkan. Kegembiraan membuat siswa siap belajar dengan lebih mudah dan bahkan dapat mengubah sifat negatif. Untuk menambah kegembiraan dapat digunakan afirmasi, yaitu suara-suara untuk mengaktifkan dialog internal, sebagai cerminan nilai-nilai dan keyakinan guru serta berpengaruh kuat pada pengalaman guru setiap saat; memberi (dan menerima) pengakuan, di mana pada dasarnya, setiap siswa senang diakui atau diterima. Jadi, akuilah setiap usaha siswa, tidak hanya usaha yang tepat; merayakan kerja keras, hal ini akan mendorong siswa memperkuat rasa tanggung jawab dan mengawali proses belajar mereka sendiri. Selanjutnya dengan ketakjuban sebagai alat belajar asli dapat menambahkan arti lebih pada belajar, jika belajar diawali dan dicari melalui ketakjuban.

Selanjutnya menurut Utsman Najati, bahwa afirmasi juga  berarti bahwa guru  menyediakan situasi yang  baik bagi  perkembangan emosi anak, dan mendukung melalaui cara yang jelas  yang dikenali anak seperti memberikan ganjaran pada siswa.[6] 

Rasulullah SAW, menggunakan ganjaran dalam membangkitkan dan memperkuat semangat serta gairah untuk berlomba  lari. Beliau  bersabda yang artinya “Siapa menang, ia akan mendapatkan sesuatu dariku”. Lalu mereka mereka berlomba lari dan menubruk dada beliau, segera beliau memeluk dan mencium  mereka” [7]

Pengambilan risiko
Setiap belajar mengandung resiko setiap kali seseorang bertualang untuk belajar sesuatu yang baru ia mengambil resiko besar diluar zona nyamannya. Dengan resiko ini akan membawa siswa melampaui batas mereka sebelumnya dan menambah dampak pengalamannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; Rasulullah  SAW  bersabda yang artinya “Ilmu  itu  hanya dapat dikuasai  dengan belajar; kecerdikan juga begitu. Barang siapa mengerjakan kebaikan ia  mendapatkannya. Sedangkan barang  siapa yang menghindari kejelekan ia akan terjaga darinya”.( HR. Thabrani dan al- Doruquthny)[8]

Maksud  hadits di atas,  menurut Utsman Najati  adalah bahwa belajar hanya dapat ditempuh dengan mengerahkan segenap upaya  serta berpartisipasi aktif dan efektif  dalam proses belajar.[9]

Rasa saling memiliki
Dengan adanya saling memiliki akan mempercepat proses pengajaran dan meningkatkan rasa tanggung jawab siswa

Mendidik siswa dengan adanya rasa saling memiliki, menurut Nashih  Ulwan  juga  berarti mendidik dengan  penuh pehatian. Yang dimaksud mendidik dengan perhatian adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, persiapan, spiritual dan sosial, disamping selalu bertanya  tentang situasi pendidikan jasmani dan daya  hasil ilmiahnya.[10]

Ayat tentang keharusan memperhatikan dan mengkontrol dalam mendidik siswa yang artinya  “ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah keluargamu dan dirimu  daripada neraka, yang  bahan bakarnya  manusia dan batu, sedang  penjaganya malaikat-malaikat yang  kasar dan keras, mereka tidak mendurhakai Allah tentang apa-apa yang disuruhnya dan mereka memperbuat apa-apa yang diperintahkan kepadanya”. (QS.  At-Tahrim: 6).[11]

Keteladanan
Bertolak dari pepatah “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata”, ini mengandung arti bahwa diri seorang guru lebih penting daripada pengetahuannya. Karena dengan keteladanan dapat membangun hubungan, memperbaiki kredibilitas dan meningkatkan pengaruh.

Dalam Islam, Allah SWT telah menjadikan nabi Muhammad  SAW sebagai suri  tauladan, yang baik bagi manusia. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman yang artinya “ Sesungguhnya pada rasul Allah (Muhammad) ada ikutan  yang baik bagimu, yaitu bagi orang  yang mengharapkan (pahala) Allahdan hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah”. (QS. al-Ahzab: 21) [12]

Telah diakui bahwa kepribadian rasul sesungguhnya bukan hanya teladan buat satu masa, satu generasi, satu bangsa atau satu golongan. Tetapi merupakan teladan univeral, untuk seluruh manusia dan seluruh generasi. Teladan yang abadi dan tidak akan habis adalah kepribadian rasul yang didalamnya terdapat segala norma,nilai, dan ajaran Islam.[13]

Menurut an-Nahlawi, sebagaimana dikutip Sri Harini dan Aba Firdaus al-Hajwani, pendidikan melalui keteladanan ini dapat diterapkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat ikhlas dan lain-lain. Sedangkan keteladanan yang disengaja, misalnya memberi contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar dan lain- lain. Dalam pendidikan Islam kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.[14]

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa sementara guru mengajak siswa dalam proses belajar seumur hidup yang dinamis dan tak terlupakan, guru menciptakan suasana prima yang unik bagi para siswa, yang membuat siswa aman tapi tertantang, dimengerti dan dirayakan. Dengan menciptakan suasana yang prima tersebut, guru secara tidak langsung telah mendidik siswa memiliki kecerdasan emosi.

Demikian juga, dengan lingkungan masyarakat turut berperan dalam kecerdasan emosi siswa. Adapun lingkungan masyarakat yang berpengaruh adalah terutama teman-teman sebayanya yang bersangkutan, dimana dalam masa ini terjadi interaksi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak.

Fote Note

  1. Bobby Deporter, Quantum Teaching, Mempraktekan Quantum Learning di Ruang-Ruang  Kelas, terjemah; Ary Nilandari,  (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 17-39
  2. Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 116
  3. Aabdul Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam, terjemah: Henry  Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1988),  hlm. 178 
  4. Muhyidin Abdul  Hamid, Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak, (Yogyaarta:  Mitra  Pustaka, 1999), hlm. 187-196 
  5. Muhammad Nashih  Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa, 1981), hlm. 155
  6. Utsman Najati, Belajar  EQ dan SQ dari  Sunnah Nabi, Pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Bandung: Hikmah, 2002), hlm. 166
  7. Ibid
  8. Ibid, hlm. 170
  9. Ibid
  10. Muhammad  Nashih  Ulwan, Op.Cit, hlm.123
  11. Mahmud Junus, Tarjamah al-Quran al-Karim, (Bandung: al- Ma’arif, 1986), hlm. 505-506
  12. Ibid, hlm. 379
  13. Sri Harini  dan  Aba firdaus al-Hajwani, Mendidik  Anak Sejak Dini, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm.  
  14. Ibid

Demikian ulasan artikel tentang Strategi Quantum Teaching semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya ke Blog arwave sampai jumpa pada artikel selanjutnya.

Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz