Artikel Education, General And Islamic

Studi Hadits > Kedudukan Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad

Artikel terkait : Studi Hadits > Kedudukan Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad


A.    Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kualitas Sanad
Kualitas hadits adalah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar palsunya hadits itu berasal dari Rosulullah saw.[1] Kualitas disini juga dapat diartikan sebagai mutu, tingkat atau nilai yang disandang oleh suatu hadits.[2] Yang dimaksud dengan nilai disini adalah apakah suatu hadits itu dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu kepastian ajaran atau tidak. Dengan demikian Penentuan kualitas hadits erat kaitannya dengan pemakaian atau penerapanya.[3]
Penentuan kualitas hadits tergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rowi, keadaan rowi, dan keadaan matan. Secara umum, klasifikasi hadits ditinjau dari segi kualitas rawi yang meriwayatkannya, terbagi ke dalam dua kategori, yaitu Hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terdiri dari hadits shohih dan hasan, sedangkan hadits mardud terdiri dari hadits dho’if.[4]

B.     Hadits Shohih
1.           Pengertian hadits shohih
Shahih menurut bahasa berarti sehat, bersih dari cacat,[5] yang selamat, yang benar, yang sah dan yang sempurna,[6] yang merupakan lawan dari kata “saqim, maridh”, yang berarti sakit. Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولاعلة
“Hadits yang disandarkan kepada nabi muhammad saw, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobith hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”[7]
2.           Syarat-syarat hadits shohih
Adapun untuk syarat sebuah hadits dikatakan sebagai hadits shohih adalah sebagaimana yang ada pada pengertian hadits shohih itu sendiri, yaitu ittisholu al-sanadi (sambung sanadnya), ‘adalatu al-ruwwah (perowinya harus adil), dlobithu al-ruwwah (perowi harus dlobith[8]), ‘adamu al-syudzudz (tidak syadz[9]) dan ‘adamu al-‘illat (tidak terdapat ‘illat[10]).[11]
3.           Contoh hadits shohih
حدثنا عبدالله بن يوسف, أخبرنا مالك, عن أبي الزناد, عن الاعرج, عن أبي هريرة أنه قال : قال رسول الله : طعام الاثنين كافي الثلاثة (رواه البخاري)[12]
4.           Klasifikasi hadits shahih
Para ulama’ sepakat bahwasanya Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Hadits Shahih li dzatih, yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat maksimal, seperti yang telah disebutkan di atas.[13]
b.      Hadits shahih li ghairih yaitu hadits yang keshohihannya dibantu oleh adanya keterangan atau hadits yang lain.[14] Selain itu, hadits shohih lighairih jga dapat didefinisikan sebagai hadits yang keadaan perawinya hurang hafidz dan dlobith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya derajat hasan, lalu didapat padanya dari jalan yang lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat meutipi kekurangan yang menimpanya itu. Jadi hadits shohih li ghairih adalah hadits di bawah tingkatan shohih yang menjadi hadits karena diperkuat oleh hadits-hadits yang lain.[15]
5.           Kedudukan hadits shahih (kehujjahan)
Hadits shohih sebagai sumber ajaran islam lebih tinggi kedudukannya dari pada hadits hasan dan dho’if, tetapi berada di bawah kedudukan hadits mutawatir.[16] Para ulama’ sependapat bahwa hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syari’at Islam,[17] terutama dalam bidang hukum dan moral.[18] Namun mereka berbeda pendapat, apabila dijadikan hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.[19]
6.           Karya-karya yang hanya memuat hadits shahih
Di antara karya-karya yang memuat hadits shahih, adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Mustadrak Al-Hakim, Shahih Ibnu Hibban dan Shahih Ibnu Khizaimah.  

C.    Hadits Hasan
1.           Pengertian hadits hasan
Hasan menurut bahasa adalah sifat musyabahah dari ”Al- Husna” yang artinya bagus, sesuatu yang baik dan cantik.[20] Sedangkan menurut istilah, hadits hasan adalah
ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خفّ ضبطه عن مثله الى منتهاه من غير شذوذ ولاعلة
"Hadits yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabit, tetapi kadar kedlabitannya di bawah kadar kedlabitan hadits shahih, dan hadits itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ‘illat (cacat)."[21]
Untuk membedakan antara hadits shahih dan hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadits tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadits hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadits shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.
2.           Syarat-syarat hadits hasan
Adapun untuk syarat sebuah hadits dikatakan sebagai hadits hasan adalah sebagaimana yang ada pada pengertian hadits hasan itu sendiri. Yang pertama yaitu ittisholu al-sanadi (sambung sanadnya). Kedua yaitu ‘adalatu al-ruwwah (perowinya harus adil). Ketiga yyaitu dlobithu al-ruwwah (perowi harus dlobith), maksud dari kedlabitannya rawi di sini tingkatannya di bawah kedlabitan rawi hadits shahih, yakni kurang sempurna kedlabitannya). Keempat yaitu ‘adamu al-syudzudz (tidak syadz) dan yang terakhir adalah ‘adamu al-‘illat (tidak terdapat ‘illat).[22]
3.           Contoh Hadits Hasan
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليمن الصبعي عن ابي عمران الجوني عن ابي بكر بن ابي موسى الاشغري قال : سمعت ابي بحضرة العدو يقول : قال رسول الله : ان ابواب الجنة تحت ظلال السيوف.... (رواه الترمذي)[23]
4.           Klasifikasi hadits hasan
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan pun terbagi menjadi dua masam, yaitu hadits hasan li dzatih dan hasan li ghairih. Hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan disebut hasan li dzatih. Syarat untuk hadits hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadits shahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setaraf atau sama dengan tingkatan tersebut.
Adapun hadits hasan li ghairih adalah dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadits dhaif yang karena rawinya buruk hafalannya (su’u al-hifdzi), tidak terkenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairih karena dibantu oleh hadits-hadits lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.[24] Pada dasarnya, hadist hasan li ghoirih ini adalah hadits dho’if, namun karena ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghoirih. Andaikata tidak ada ‘adhid, maka kedudukannya dho’if.[25]
5.           Kedudukan hadits hasan (kehujjahan)
Sebagaimana hadits shahih, menurut para ulama’ ahli hadits, bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama’ yang tetap mambedakan kualitas kehujjahan, baik antara shahih li dzatih dan shahih li ghairih dengan hasan li dzatih dan hasan li ghairih.[26]
6.           Karya-karya yang mengandung hadits hasan
Para ulama’ belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadits shahih, tetapi hadits hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, di antaranya: Jami’ At-Tirmidzi (dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan), Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ad-Daruquthi.



D.    Hadits Dhaif
1.           Pengertian hadits dha’if
Kata “dhaif” menurut bahasa berasal dari kata “dha’fun” yang berarti lemah lawan kata dari “qawiy” yang berarti kuat, sedangkan hadits dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits hasan. Hadits dha’if disebut juga hadits mardud (ditolak).[27]
Adapun menurut muhaditsin, hadits dha’if adalah  
ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن, يفقد شرط  او اكثر من شروطهما.
“Semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits shahih dan hadits hasan, yang sepi dari satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hasan .”[28]
2.           Contoh hadits dho’if
ما اخرجه الترميذي من طريق حكيم الاثرم عن ابي تميمة الهجيمى عن ابي هريرة عن النبي : من اتى حائضا او امرأة في دبرها او كاهنا فقد كفر بما انزل على محمد
3.           Klasifikasi hadits dha’if
Secara umum, Hadits dha’if dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a.         Dha’if disebabkan adanya kekurangan pada rawinya baik tentang keadilan maupun hafalannya[29], yaitu
1)      Hadits maudlu’, yaitu hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaannya itu dikatakan sebagai kata-kata atau perilaku Rosulullah, baik hal tersebut disengaja maupun tidak.
2)      Hadits matruk, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertduh dusta dalam perhaditsan.
3)      Hadits mu’allal, yaitu hadits yang terdapat sebab-sebab yang tidak nyata, yang datang kepadanya lalu menjadi cacat.
4)      Hadits mudraj, yaitu hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits.
5)      Hadits maqlub, yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) dengan cara, mendahulukan dan mengakhirkan.
6)      Hadits mudlthorib, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dapat dikumpulkan dan ditajrihkan.
7)      Hadits muharraf, yaitu hadits yang menyalahi hadits lain disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetp bentuk tulisannya.
8)      Hadits mushahhaf, yaitu hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
9)      Hadits mubham, yaitu hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang (rowi) yang tidak jelas identitasnya atau tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan
10)  Hadits syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (tsiqoh) menyalahi riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedhabitan atau banyaknya sanad atau lain sebgainya dari segi pentajrihan.
11)  Hadits mukhtalith, yaitu hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.[30]
b.        Dha’if disebabkan sanadnya tidak tersambung[31], yaitu
1)      Hadits mu’allaq, yaitu hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih pada awal sanad.
2)      Hadits mursal, yaitu hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setalah tabi’in.
3)      Hadits mudallas, yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tidak ternoda.
4)      Hadits munqathi’, yaitu hadits yang gugur seorang perawi sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
5)      Hadits mu’dlal, yaitu hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih, berturut-turut, bak sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’ tabi’in, maupun dua orang sebelum shahabat.[32]
c.         Dha’if dari sudut sandaran matannya,[33] Yaitu
1)      Hadits mauquf, yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqothi’.
2)      Hadits maqhthu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabi’ atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.[34]  
Para ulama’ muhaditsin mengemukakan sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadits dari jurusan sanad adalah terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kedlabitannya, dan ketidaksambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi itu ada sepuluh macam, yaitu dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak waham (purbasangka), tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.[35]
Para ulama’ berbeda pendapat dalam membagi hadits dha’if. Sebagian ulama’ membaginya menjadi 81 macam. Dan yang lain mengatakan, hadits dha’if itu ada 49 macam. Sebagian yang lain lagi mengatakan, ada 42 macam. Tetapi, menurut Ibnu Hajar semua pembagian tersebut tidak mengandung faedah penting, melainkan hanya akan menyulitkan. Dan memang semestinya tidak perlu pembagian-pembagian sebanyak itu, karena mereka tidak pernah menyebutkan jumlah pembagian-pembagian tersebut secara rinci, kecuali sedikit saja, dan tidak pula mereka memberi nama tertentu satu persatu sebanyak pembagian yang dilakukannya.[36]
4.           Kedudukan hadits dha’if (Kehujjahan)
Ada beberapa pendapat di kalangan ulama’ mengenai hukum pengamalan hadits dha’if. Pertama, hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak. Menurut madzhab Imam Malik, Syafi’I, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm, dan para imam ahli hadits lainnya, mereka tidak membolehkan beramal dengan hadits dha’if secara mutlaq meskipun untuk fadlaa-ilul a’mal.
Kedua, Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, hadits dha’if boleh diamalkan dengan beberapa persyaratan yang sangat ketat, yaitu:
a.         Hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarlub, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur’an.
b.        Hadits tersebut tidak sangat dha’if apalagi hadits-hadits maudlu’, munkar, dan hadits-hadits yang tidak jelas asalnya.
c.         Hadits tesebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi SAW. dan tidak boleh dimasyhurkan.
d.        Hadts tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih.
e.         Wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tesebut dha’if saat menyampaikan atau membawakannya.
f.         Dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti Nabi SAW. telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi SAW. benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: “telah diriwayatkan dari Nabi SAW. dan yang serupa dengannya.
Pendapat ketiga, berpendapat boleh mengamalkan hadits dha’if secara mutlak. Abu Daud dan Imam Ahmad berpendapat bahwa mengamalkan hadits dha’if lebih disukai daripada berpedoman kepada akal atau qiyas.[37]



[1] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits (Ponorogo: Darul Huda Press, 2011), 34.
[2] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: Stain Po Press, 2010), 127.
[3] Ibid.
[4] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 34.
[5] Ibid.
[6] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 127.
[7] Mahmud Ath Thohhan, Taisiru Mushtholahu Al Hadits (Jeddah: Al Haromain, 1985), 34.
[8] Dlobith adalah menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
[9] Syadz adalah tidak bertentangan dengan perawi lain yang lebih tinggi tingkatannya.
[10]illat adalah cacat yang samar yang mengakibatkan hadits tersebut tidak dapat diterima.
[11] Muhammad Bin Alawi Al Malikiy, Al-Qawa’id Al-Asasiyyah (Sarang: Ar-Roshifah), 15.
[12] Ibid.
[13] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 132.
[14] Ibid.
[15] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 37.
[16] Ibid.
[17] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 133.
[18] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 37.
[19] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 133.
[20] Muhammad Bin Alawi Al Malikiy, Al-Qawa’id Al-Asasiyyah, 18.
[21] Mahmud Ath Thohhan, Taisiru Mushtholahu Al Hadits, 46.
[22] Muhammad Bin Alawi Al Malikiy, Al-Qawa’id Al-Asasiyyah, 18.
[23] Mahmud Ath Thohhan, Taisiru Mushtholahu Al Hadits, 46.
[24] Mahmud Ath Thohhan, Taisiru Mushtholahu Al Hadits, 46.
[25] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 37.
[26] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 135.
[27] Muhammad Maliki Al-Awali, Ilmu Ushul Hadits, 63.
[28] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 41.
[29] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 137.
[30] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 43.
[31] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 137.

[32] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 49.
[33] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 137.
[34] Khudamu Al-Ma’had, Ilmu Hadits, 59.
[35] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 137.
[36] Muhammad Maliki Al-Awali, Ilmu Ushul Hadits, 64.
[37] Kusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, 138.

Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz