Membandingkan Dan Mengkaji Dalil Istihsan
MEMBANDINGKAN DAN MENGKAJI ANTARA DUA DALIL ISTIHSAN - Setelah membandingkan dan mengkaji dalil-dalil ulama’ yang mengingkari
dan yang menetapkan istihsan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada
titik temu yang melandasi adanya perbedaan, karena yang diingkari Imam Syafi’i
adalah istihsan yang dibangun hanya berdasarkan aqal, pendapat dan kesenangan
tanpa berlandaskan dalil syar’i. Dan istihsan seperti ini bukanlah yang
dikehendaki oleh Imam Khanafi dan para pengikutnya. Perselisihan antara ulama’
yang mengingkari dan yang menetapkan hanyalah perselisihan dalam segi lafadznya
saja, yaitu :
1.
Jika yang
dikehendaki dengan istihsan adalah ucapan yang dianggap bagus dan disenangi
oleh manusia tanpa ada dalil, maka istihsan ini adalah batil dan tidak ada satu
orangpun yg menerima.
2. Bila yang dikehendaki dari istihsan adalah pindah dari satu dalil
kedalil yang lebih kuat maka tidak akan ada orang yang akan mengingkarinya
bahkan semua akan setuju dan menerimanya.
Baca juga:
http://arwave.blogspot.co.id/pendapat-ulama-terhadap-maslahah.html
DALIL ULAMA’ YANG MENGINGKARI MASLAHAH MURSALAH
Jumhurul ulama’ tidak menganggap maslahah mursalah sebagai dalil syar’i
dengan alasan sebagai berikut :
1.
Tidak ada
maslahah yang di butuhkan oleh perorangan dan golongan disemua tempat dan masa,
kecuali sudah dilihat oleh syara’, sebab syari’at menjaga semua maslahah
manusia dengan nash-nashnya dan ilat-ilat hukum yang ditunjukkannya, dan
kaidah-kaidah umumnya yang didalamnya tercakup bagian-bagian yang tidak
terbatas sehingga tidak dibutuhkan perkara yang tidak dianggap oleh syari’
sebagai maslahah mursalah.
2.
Pendapat
tentang mensyari’akatkan hukum berdasarkan atas maslahah mursalah itu akan
mengakibatkan adanya kesempatan membuka pintu hawa nafsu manusia yang tidak
didasari dengan ketentuan, karena kemaslahatan itu sesuatu hal yang relatif
tergantung sudut pandang manusia. Dan hal ini adalah membuka pintu kejelekan dan
bahayanya sangat besar .
3. Jika wajib mengikuti maslahah mursalah maka wajib adanya merubah hukum
ketika terjadi pergantian manusia, perubahan waktu dan tempat serta pergantian
beberapa maslahah. Hal ini akan mengakibatkan adanya merubah hukum syar’i secara
keseluruhan dan membuka hukum syar’i yang tidak ditetapkan dari syaari’.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!