Artikel Education, General And Islamic

Ikhtikar dalam Hukum Islam: Mengenal Definisi dan Larangan Praktik Monopoli Perdagangan

Artikel terkait : Ikhtikar dalam Hukum Islam: Mengenal Definisi dan Larangan Praktik Monopoli Perdagangan

Monopoli adalah menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik yang dalam bahasa Arab disebut dengan Ikhtikar.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ بِلاَلٍ - عَنْ يَحْيَى - وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ - قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ ». فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِى كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ.رواه مسلم[1]

          Artinya : Diceritakan dari Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab, diceritakan dari Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id berkata; Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa sesungguhnya Ma’mar berkata; Rasulullah saw pernah bersabda : Barang siapa yang melakukan praktek ihtikar (monopoli) maka dia adalah seseorang yang berdosa. Kemudian dikatakan kepada Sa’id, maka sesungguhnya kamu telah melakukan ihtikar, Sa’id berkata; sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits ini ia juga melakukan ihtikar. (HR. Muslim)

monopoli

Penjelasan Hadits :

Dalam riwayat yang lain disebutkan menggunakan lafadz : َا يَحْتَكِر إِلَّا خَاطِئ lafadz خَاطِئ dalam hadits diatas menurut ahli bahasa memiliki arti seseorang yang berbuat durhaka dan melakukan perbuatan dosa.

Ma’mar bin Abi Ma’mar adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang masuk Islam pada awal periode dan pernah mengikuti Nabi pada hijrah ke Abyssinia. Meskipun beliau datang ke Madinah lebih lambat dari para sahabat yang lain, namun pada akhirnya ia juga hijrah dan menetap di Madinah bersama Nabi. Hadits mengenai Ma'mar bin Abi Ma'mar dianggap sebagai hadits hasan dan sahih menurut Abu Isa. Sementara itu, menurut Imam Albany, hadits ini dianggap sebagai hadits sahih.


Menurut keterangan dalam kitab Badrul Munir, Abu Mas’ud Al-Dimasyqi dalam riwayat Ibnu Musayyab menyebutkan bahwa Sa’id melakukan praktik monopoli perdagangan dengan menahan beberapa komoditas seperti minyak dan biji gandum. Namun menurut Tirmidzi, Sa’id bin Musayyab hanya menahan beberapa komoditas seperti minyak, biji gandum, dan barang sejenisnya. Sementara itu, menurut Abu Daud, Sa’id melakukan praktik monopoli perdagangan (ihtikar) atas biji kurma, benang, dan rempah-rempah. Sedangkan menurut Ibnu Abdul Bar, Sa’id dan Ma’mar keduanya melakukan praktik monopoli perdagangan atas minyak saja. Kedua sahabat ini beranggapan bahwa yang dilarang dalam hadits tersebut adalah melakukan penahanan atas barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok, bukan komoditas lain seperti minyak, biji kurma, rempah-rempah, dan barang lain yang bukan kebutuhan pokok.


Namun, pendapat Ibnu Badr Al-Mushily dalam kitab Al-Mughny menolak hadits ini dengan alasan adanya kontradiksi antara apa yang dilakukan oleh rowi (penyampai hadits) dan isi hadits tersebut. Namun, alasan kontradiktif ini tidak dapat dijadikan landasan sepenuhnya atas penolakan hadits tersebut, karena Nabi Muhammad tidak memberikan batasan tertentu atas apa saja yang dilarang melakukan praktik monopoli perdagangan (ihtikar). Yang menjadi pokok pembahasan dan landasan adalah isi hadits itu sendiri, bukan pendapat seorang rowi. Oleh karena itu, Ibnu Abdul Bar berpendapat bahwa tidak mungkin bagi sahabat mulia yang meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad dan seorang tabi'in (murid dari para sahabat) yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar, lalu mereka menyelisihinya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja.

Hukum Melaksanakan Praktek Ihtikar

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang hukum melaksanakan praktek ihtikar :

1.      Haram Secara Mutlak.

Hal ini melihat isi kandungan hadits yang berbunyi  مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ “Barang siapa yang menimbun maka dia telah berbuat dosa” (HR. Muslim). Sedangkan menurut tinjauan fiqih, keharaman praktik monopolistik (ihtikar) berdasarkan atas 3 kriteria (syarat), yakni :

a.         Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk

masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

b.        Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan

kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.

c.       Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,

sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.[3]

Dalam kitab Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj juga disebutkan bahwa keharaman ihtikar hanyalah pada barang-barang yang merupakan kenutuhan pokok saja, tidak semua jenis makanan.

2.      Makruh secara mutlak, 

Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.

3.      Haram apabila berupa bahan makanan saja, 

adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan praktik monopolistik (ihtikar) selain bahan makanan. Sebagaimana penjelasan mengenai isi hadits kedua.

4.      Haram ihtikar disebagian tempat saja, 

seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan praktik monopolistik (ihtikar) di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.

5.      Boleh ihtikar secara mutlak, 

Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar sebagaimana dalam hadits kelima. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata: "Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).(5)

Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang mengharamkan  ihtikar setiap waktu secara mutlak, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.



[1] Muslim, Abu Al-Husain bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-Nasisabury, Al-Jami’ Al-Shohih Al-Musamma Shahih Muslim Juz 5, Beirut, Darul Jayl, hlm. 56

[2] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abu Al-Qosim At-Thobarony, Al-Mu’jam Al-kabir Juz 15,

[3] Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzi Al-Minhaj Juz 6, hlm. 397


Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz