Artikel Education, General And Islamic

Rukun dan Syarat Jual Beli Dalam Ekonomi Islam

Artikel terkait : Rukun dan Syarat Jual Beli Dalam Ekonomi Islam

Rukun dan Syarat Jual Beli - Agar akad jual beli yang dibuat oleh para pihak mempunyai daya ikat, maka akad tersebut harus memenuhi syarat dan rukunnya.[1]

Rukun dan Syarat Jual Beli
Image From www.irfankhairi.com

Rukun Jual Beli

pada hakikatnya yang menjadikan barometer transaksi pada jual beli seseorang itu terletak pada rukun dan syaratnya. Semua transaksi muamalah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya maka transaksi itu sah. Begitu pula sebalinya apabila tidak terpenuhi salah satu rukun atau syaratnya maka juga bisa menjadi batal.

Rukun jual beli terdiri atas tiga macam:

Akad (ijab Kabul)

Akad artinya persetujuan antara si penjual dan si pembeli. Umpamanya, “aku menjual barangku dengan harga sekian,” kata sipenjual. “aku beli barangmu dengan harga sekian,” sahut si pembeli. Perkataan si penjual dinamakan ijab, sedangakan perkataan si pembeli dinamakan kabul.[2]
Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Hal ini karena ijab kabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak, pada dasarnya ijab kabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan tetapi kalau tidak mungkin, misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli, atau penjualnya jauh, boleh dengan perantara surat-menyurat yang mengandung arti ijab kabul itu.

Hadits Rasulullah SAW. Menyatakan:

 (عن ابى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَغْتَرِقَنَّ اِثْنَانِ اِلَّا عَنْ تَرَاضٍ (روه ابودود والترمذي

Artinya: dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW., beliau bersabda, “dua orang yang berjual beli belumlah boleh berpisah, sebelum mereka berkerelaan.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)[3]

Pengarang kitab subulussalam menyatakan bahwa dalil yang menyatakan di syaratkan ijab kabul adalah firman Allah SWT:

Artinya: “….kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu….” (Q.S. An-Nisa: 29)[4]

Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab berhubungan dengan hati. Oleh sebab itu, wajiblah dihubungkan dengan sebab lahir yang menunjukkan kerelaan itu, yaitu sighat (ijab kabul). pengarang subulussalam lebih lanjut mengatakan, “dalam hal ini dapat dikecualikan jual beli barang-barang yang tidak begitu tinggi harganya, seperti barang-barang keperluan sehari-hari. Karena sudah menjadi kebiasaan, dalam jual beli tersebut tidak perlu lagi ijab kabul. Ini adalah pendapat jumhur ulama’.[5]
Menurut fatwa ulama’ Syafi’iyah, pada jual beli yang kecil pun harus disebutkan lafal ijab kabul, seperti jual beli lainnya. Akan tetapi, Nawawi dan kebanyakan ulama’ Mutaakhirin dari Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan akad pada barang yang tidak terlalu tinggi harganya.[6]

Syarat sah ijab kabul:

Tidak ada yang membatasi (memisahkan).

Si pembeli tidak boleh diam saja setelah Si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.

Tidak diselingi oleh kata-kata lain.

Tidak dita’likkan. 

Umpamanya, “jika bapakku telah mati barang ini akan kujual kepadamu”, dan lain-lainnya.

Tidak dibatasi waktunya.

Umpamanya, “Aku jual barang ini kepadamu satu bulan saja”.
Jual beli seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik bagi Si pembeli untuk selama-lamanya, dan Si penjual tidak lagi berkuasa atas barang itu.[7]

Orang yang berakad (pembeli dan penjual)

Bagi orang yang berakad diperlukan beberapa syarat.

Baligh (berakal)

agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila, atau orng bodoh sebab mereka bukan ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta). Oleh sebab itu, harta benda yang dimilikinya sekalipun tidak boleh diserahkan kepadanya.

Allah SWT, berfirman yang Artinya: “dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang berada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. An-Nisa:5)[8]

Harta benda tidak boleh diserahkan kepada orang yang bodoh (belum semprna akalnya). Hal ini berarti bahwa orang yang bukan ahli tasarruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qabul).[9]

Beragama Islam.

Syarat ini hannya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual, yaitu kalau didalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Allah walaupun satu ayat, seperti membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits Nabi.  Begitu pula kalau yang dibeli adalah budak yang beragama Islam. Kalau budak Islam dijual kepada kafir, mereka akan merendahkan dan menghina Islam dan kaum muslimin sebab mereka berhak berbuat apa pun pada sesuatu yang telah dibelinya. Allah SWT.melarang keras orang-orang mu’min memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina mereka.[10]
Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak membari jalan bagi orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Q.S Annisa:141)[11] 

Ma’kud Alayh (uang dan barang)

Syarat barang yang diperjual belikan adalah sebagai berikut.
Suci atau mungkin disucikan
Memberi manfaat menurut syara’
Dapat diserahkan secara cepat atau lambat
Milik sendiri
Diketahui (dilihat).[12]

Sedangkan menurut Abdullah bin Muhammad ath-thayyar rukun bai’ ada empat yaitu: “dua pihak yang melakukan transaksi (penjual dan pembeli), sesuatu yang ditransaksikan (ma’qud ‘alaih, obyek akad), shighah.” Akan tetapi dalam kitab al-majmu’ dijelaskan bahwa rukun ba’i ada tiga, yaitu dua pihak yang melakukan transaksi (‘aqidain), sighah, harta benda yang ditransaksikan (ma’qud alaih)[13]

Syarat Jual Beli

Agar jual beli menjadi sah, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
Diantaranya yang berkaitan dengan orang yang berakad. Yang berkaitan dengan yang diakadkan atau tempat berakad, artinya harta yang akan dipindahkan dari kedua belah pihak yang melakukan akad, sebagai harga atau dihargakan.

Syarat orang yang berakad

Bagi orang yang berakad diperlukan beberapa syarat:

Baligh (berakal) agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila, atau orang bodoh sebab mereka bukan ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta). Oleh sebab itu, harta benda yang dimilikinya sekalipun tidak boleh diserahkan kepadanya.[14]
Allah SWT, berfirman:

Artinya: “Dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orangg yang bodoh (belum sempurna akalnya) harta (mereka yang berada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan allah sebagai pokok kehidupan.” (Q.S. An-Nisa:5)[15]

Harta benda tidak boleh diserahkan kepada orang yang bodoh (belum sempurna akalnya). Hal ini berarti bahwa orang yang bukan ahli tasarruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab qabul)[16]

Syarat barang yang diakadkan

Bersihnya barang

Berdalil kepada hadits Jabir, bahwasannya ia mendengar Rasulullah bersabda:
اِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرَ وَالمَيتَةَ وَالحنْزِيْرَ وَالْاَصْنَامَ
Artinya: “ sesungguhnya Allah mengharamkan menjual belkan khamar, bangkai, babi, patung-patung”.[17]

Ditanyakan: “wahai Rasulullah bagaimana dengan syuhum (lemak-lemak) bangkai yang digunakan untuk lem perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan digunakan sebagai bahan bakar-bakar lampu orang-orang?”
Rasulullah menjawab:
لآ، هُوَ حَرَامٌ

“tidak, dia tetap haram”.[18]

Kata dia dalam ucapan Rasulullah Saw., kembali kepada jual beli.
Dengan alasan, bahwa jual beli yang dicerca oleh Rasulullah terhadap orang yahudi dalam hadits itu sendiri. Atas dasar ini mengambil manfaat dari syuhum bangkai bukan untuk jual beli dibolehkan. Seperti untuk memberi minyak pada kulit-kulit, dijadikan bahan bakar penerangan dan keperluan-keperluan lain yang bukan untuk dimakan atau yang masuk dalam tubuh manusia.[19]

Dapat dimanfaatkan

Maka jual beli serangga, ular, tikus, tidak boleh kecuali untuk dimanfaatkan. Juga boleh jual beli kucing, lebah, singa, dan binatang-binatang lain yang berguna untuk berburu atau dimanfaatkan kulitnya.[20]

Milik orang yang melakukan akad

Jika jual beli berlangsung sebelum ada izin dari pihak pemilik barang, maka jual beli seperti ini dinamakan bai’ul fudhul.
Yang dimaksud bai’ul fudhul adalah jual beli yang akadnya dilakukan oleh orang lain sebelum ada izin pemilik. Seperti suami menjual milik istrinya tanpa izin istrinya atau membelanjakan milik istrinya.[21]
Akad fudhuli ini dianggap sebagai akad valid, hanya mulai masa berlakunya tergantung pada pembolehan sipemilik atau walinya. Jika si pemilik memperbolehkan, baru dilaksanakan dan jika tidak maka akad menjadi batal.[22]

Mampu menyerahkan

Bahwa yang di akadkan dapat dihitung waktu penyerahannya syara’ dan rasa. Sesuatu yang tidak dapat di hitung pada secara waktu pennyerahannya tidak sah dijual, seperti ikan yang ada di dalam air. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., berkata:
لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِى الماَءِ فَاِنَّهُ غَرَرٌ
Artinya: “janganlah kalian membeli ikan yang berada di dalam air sesungguhnya yang demikian itu penipuan”.[23]

Termasuk dalam kategori ini, menjual burung yang sedang terbang dan tidak diketahui kembali ketempatnya. Sekalipun burung itu dapat kembali pada waktu malam pun jual beli tidak sah, menurut sebagian besar Ulama, kecuali lebah. Karena Rasululllah melarang menjual barang yang bukan miliknya.
Menurut mazhab Hanafi, jual beli itu sah, karena dapat dihitung untuk diterima.[24]

Mengetahui

Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak diketahui, jual beli tidak sah, karena mengandung unsur penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan menyaksikan barang sekalipun tidak ia ketahui jumlahnya, seperti jual beli yang kadarnya tidak dapat diketahui. Untuk barang-barang yang dapat dihitung, ditakar, dan ditimbang, maka kadar kuantitas dan sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Demikian pula harganya harus diketahui, baik itu sifat, jenis pembayaran, jumlah maupun masanya.[25]

Barang yang diakadkan ada ditangan

Adapun menjualnya sebelum ada ditangan, maka tidak boleh karena dapat terjadi barang itu sudah rusak pada waktu masih berada ditangan penjual, sehingga menjadi jual beli ghurur. Dan jual beli ghurur tidak sah baik itu yang berbentuk barang ‘iqrar (yang tidak bergerak) atau yang dapat dipindahkan. Dan baik itu yang dapat dihitung kadarnya atau jazaf. Dengan berdalil kepada riwayat Ahmad, Al Baihaqie dan Ibnu Hibban dengan sanad yang hasan; bahwa Hakim bin Hizam berkata:
يَارَسُولَ الله اِنِّى اَشْتَرِي بُيُوْعًا فَمَا يَحِلُّ لِى مِنْهَا وَمَا يَحْرُمُ؟ قال: اِذَا اشْتَرَيتَ شَيْئًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
Artinya: “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membeli barang jualan, apakah yang halal dan apapula yang haram daripadanya untukku?” Rasulullah  bersabda:“jika kamu telah membeli sesuatu, maka janganlah kamu jual sebelum ada ditangan mu”.[26]

Fote Note
[1] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 2010), 41.
[2] Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 26.
[3] Mohammad Isa bin Surah At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, Juz 3 (Baerut: Darul Fikri, t.t), 26.
[4] Departemen Agama RI., 5:29
[5] Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 27.
[6] Ibid.
[7] Ibid., 28.
[8] Departemen Agama RI., 5:5.
[9] Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 28.
[10] Ibid.
[11] Departemen Agama RI., 6: 141.
[12] Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 33.
[13] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab,.7.
[14] Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 28.
[15] Departemen Agama RI., 5: 5.
[16] Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 28
[17] Ibnu Hajar Al Asqolani, Bulughul Maram.,160.
[18] Ibid.
[19] Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, 29.
[20] Ibid.
[21] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.,49.
[22] Ibid.
[23] Ibnu Hajar Al Asqo>lani, Bulughul Maram.,174.
[24] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.,49.
[25] Ibid.
[26] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah., 64.

Demikian sedikit ulasan tentang Rukun dan Syarat Jual Beli Dalam Ekonomi Islam semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan artikel saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar. 

Artikel Arwave Blog Lainnya :

2 komentar:

  1. Bagaimana dengan hukum jual beli online dalam islam ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada era digital ini memang tidak bisa telepas dari adanya transaksi online. Untuk hukumnya sendri dalam keadaan normal adalah mubah (boleh), bisa menggunakan ba'i (akad jual beli biasa) atau dengan akad salam (pesan/pre order).
      Sobat perlu ekstra hati-hati dalam transaksi online, lakukan melalui wesite yang bener2 resmi seperti tokopedia, bukalapak, dkk, karena ketika barang tidak dikirim dana sobat otomatis akan balik utuh.
      Terimakasih atas kunjungannya soooob.

      Hapus

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz