Konsep, Kaidah dan Contoh Hukum 'Am, Khas, Mutlaq dan Muqayyad dalam Ushul Fiqh
Konsep, Kaidah dan Contoh Hukum dalam Ushul Fiqh - Dalam konteks memahami al-Qur’an, Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu alat yang sangat penting dan amat dibutuhkan, khususnya dalam bidang penetapan hukum-hukum syariah. Ini karena banyak peristiwa bermunculan setiap saat yang berbeda dengan peristiwa/ rincian yang lalu, padahal teks ayat al-Qur’an dan hadits tidak sebanyak peristiwa tersebut.
Image From makalah makalah .com
Dari sini lahir kebutuhan kepada rumus-rumus yang bersifat umum yang dapat digunakan untuk mamahami teks sekaligus menetapkan hukum berdasar rumus-rumus tersebut. Karena itu, salah satu persoalan pokok yang dibahas dalam ilmu ini adalah persoalan lafaz , khususnya dalam kaitannya dengan makna lafaz itu, baik berdiri sendiri sebagai satu kosa kata, maupun setelah terangkai dalam satu susunan kalimat. Ulama-ulama Ushul Fiqh melalui pengamatan dan induksi sehingga kesimpulan yang mereka rumuskan dapat dijadikan patokan untuk menetapkan hukum.
Bahasan mereka bermacam, antara lain menyangkut ragam lafaz serta kekuatan dan kelemahan petunjuk maknanya, yang pada gilirannya mempengaruhi pandangan tentang kepastian hukum yang dapat ditariknya.
Lafaz yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut ‘Am (umum), sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian tertentu disebut khas. Lafaz yang { khusus itu ada yang digunakan tanpa dikaitkan kepada sifat apapun, dan adapula yang dikaitkan kepada sifat atau keadaan tertentu. Lafaz yang tidak dikaitkan kepada sesuatu apapun disebut mutlak, sedangkan yang dikaitkan kepada sesuatu disebut muqayyad.
‘Am dan Bentuk Lafadnya.
‘Am adalah lafaz yang di dalamnya mencakup arti lebih dari satu, tanpa ada batasannya[1].
وَحَدًّهُ لَفْظٌ يَعُمُّ اَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍمِنْ غَيْرِمَاحَصْرِيُرَى
Pengertian ‘Am
‘Am dalam bahasa artinya menyeluruh (syumul/شُمُوْلٌ), sebagaimana kebiasaan orang Arab mengatakan
عَمَمْتُ النَّاسَ بِالْعَطَاءِ اَى شَمَّلْتُهُمْ بِهِ
Aku meratakan pemberian kepada semua orang[2].
Sedang menurut istilah adalah:
اَلْعَامُ هُوَ لَفْظٌ يَعُمُّ اَى يَتَنَاوَلُ دَفْعَةً وَاحِدَةً اَكْثَرَمِنْ وَاحِدٍمِنْ غَيْرِ دَلاَلَةِ عَلَى حَصْرٍ
‘Am adalah lafaz yang artinya mencakup lebih dari satu arti, tanpa ada petunjuk yang membatasinya (yang tidak terbatas).[3] Maksudnya adalah suatu lafaz dipakai untuk menunjukkan suatu arti yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak, tanpa terbatas.
Contoh:
Lafaz “al-Insan (الاِنْسَانُ)
Lafaz ini menunjukkan satu arti, yaitu “manusia” dan arti ini dapat mencakup semua bentuk apa saja yang dikatakan manusia. Jadi sekali lafaz “al-insan” ini di ucapkan, sudah mencakup semua jenis manusia secara keseluruhan, baik yang berkelamin laki-laki maupun perempuan.
Bentuk Lafaz ‘Am
Adapun bentuk lafaz yang mengandung arti ‘Am itu dalam bahasa Arab banyak sekali, diantaranya adalah:
Berbentuk اِسْمُ الْمُفْرَدِ الْمُعَرَّفِ بِأَلْ تَعْرِيْفِ الْجِنْسِى(Isim Mufrad yang dima’rifatkan dengan Al-Jinsi[4])
Seperti:
- السَّارقُ وَالسَّارقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا....
- Pencuri laki-laki dan pencuri wanita maka potonglah kedua tangan mereka.
Berbentuk lafaz Jama’, yang dima’rifatkan dengan “Alif” dan “Lam” atau dengan “Idafah”. seperti:
Alif dan Lam (ال) seperti :
- اَلْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ....
Idafah, yaitu :
- وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْء....
Berbentuk Isim mubham, yaitu :
Berbentuk Isim Sharat, seperti :
Lafaz Man (مَنْ), artinya : Siapa saja yang ….” seperti :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ
Siapa saja diantara kalian telah melihat hilal maka berpuasalah
Lafaz Ma (مَا), artinya : apa saja yang…” seperti :
Berbuatlah apa saja yang kalian kehendaki
اِعْمَلُوْامَاشِئْتُم
Lafaz Ayyun (أَيٌّ), artinya : apa saya yang kamu….
Seperti :
- أَيُّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيَّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ
- Pada setiap wanita yang menikah dengan tanpa izin walinya maka nikahnya adalah batal
Lafaz Aina (أَيْنَ), seperti :
اَيْنَمَاتَكُوْنُوْيُدْرِكُكُمْ الْمَوْتُ....
Dimanapun kalian berada maka pasti maut menjemputmu
Berbentuk Isim Istifham, yaitu :
Lafaz Man (مَنْ), artinya : Siapa yang…? Seperti :
....مَنْ فَعَلَ هَذَا بِاِلِهَتِنَا....
Lafaz Madha (مَاذَا), artinya : Mengapa…? Seperti :
....مَاذَااَرَادَاللهُ بِهَذَامَثَلاً....
Lafaz Mata (مَتَى), artinya : Kapan…? Seperti :
....مَتَى نَصْرُاللهِ اِنَّ نَصْرَلِقَرِيْبٌ
Lafaz Aina (اَيْنَ), artinya : Dimana…? Seperti :
.... أَيْنَ مَاكُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ....
Berbentuk Isim Mausul, yaitu :
Lafaz Alladhi; (اَلَّذِيْ), seperti :
....مَنْ ذَالَّذِى يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا....
....مَنْ ذَاالَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّبِاِذْنِهِ....
Lafaz Al-Ladhi
Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa lafaz khas adalah lafaz yang dalalahnya berlaku hanya bagi seseorang yang namanya disebutkan (seperti Muhammad) atau bagi seseorang yang namanya disebutkan (seperti laki-laki atau perempuan) atau bagi beberapa orang tertentu (seperti tiga orang, empat orang, lima orang, atau sekelompok orang). Jadi, lafaz khas adalah lafaz yang arti didalamnya tidak mencakup semua, tetapi hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Contoh:
Contoh:
Hadith ini bersifat khusus, sebab ada ketentuan secara pasti jumlah nominal nilai harta tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu 5 ausaq. Dengan demikian, yang umum di-takhsis dengan yang khusus, artinya yang dipakai adalah dalil kedua, yaitu 5 ausuq.
Jadi muqayyad adalah suatu lafaz yang menunjukkan adanya pengertian yang memiliki batasan-batasan yang mengikat dan mempersempit keluasan artinya, dan dari pengertian itulah, maka lafaz mutlaq sama dengan lafaz ‘am.
Yang disepakati, yaitu:
Penjelasan:
Contoh:
Mutlak:
Penjelasan:
Sebab hukumnya sama, tapi hukumnya berbeda.
Demikian sedikit ulasan tentang Konsep, Kaidah dan Contoh Hukum 'Am, Khas, Mutlaq dan Muqayyad dalam Ushul Fiqh semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan artikel saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
.... وَعَلَى الَّذِيْنَ يَطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ....
Lafaz Man (مَنْ), artinya : barang siapa yang ….
مَنْ يَعْمَلْ سُوْءً يُجْزَبِهِ – مَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًايَرَهُ
Isim Nakirah dalam susunan dalam kalimat yang menunjukkan pengertian nafi, nahiy dan sharat (نَكِرَةْ فِى سَيَقِ النَّفْىِ), seperti :
Isim Nakirah yang diberi huruf LA (لاَ), baik beramal seperti amalnya lafaz laisa (لَيْسَ)maupun tidak, misalnya :
- لاَوَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (tidak ada wasiat bagi ahli waris)
- لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ (tidak ada seorang pun laki-laki di dalam rumah).
Isim Nakirah yang diberi huruf MA, misalnya :
- مَااَحَدٌجَالِسٌ (tidak ada seorang pun yang duduk)
Semua lafaz yang mengandung arti ‘Am, seperti lafaz-lafaz sebagai berikut :
Lafaz Kullun (كُلٌّ), artinya : setiap…, seperti :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ – كُلُّ اَمْرٍبِمَاكَسَبَ رَهِيْنٌ
Lafaz Jami’un (جَمِيْعٌ), artinya : Semua…, seperti :
وَاِنَّالَجَمِيْعٌ حَاذِرُوْنَ
Lafaz Ma’asyir (مَعَاشِرُ), artinya : kelompok…, seperti :
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ – عَنْ مَعَاشِرَاْلاَنْبِيَاءِ
Lafaz Kaffah (كَافَّةٌ), artinya : Menyeluruh…,
Seperti :
اُدْخُلُوْافِى السِّلْمِ كَافَةً – وَقَاتِلُوْاالْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَ كَافَّةً
Khas
Pengertian Khas dan Bentuk Lafaznya
Lafaz khas adalah:
(الْخَاصُ هُوَاللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍمَعْلُوْمٍ عَلَى الِافِرَادِ)
lafaz khas adalah lafaz yang dipakai untuk satu arti yang sudah diketahui kemandiriannya.[5]
Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa lafaz khas adalah lafaz yang dalalahnya berlaku hanya bagi seseorang yang namanya disebutkan (seperti Muhammad) atau bagi seseorang yang namanya disebutkan (seperti laki-laki atau perempuan) atau bagi beberapa orang tertentu (seperti tiga orang, empat orang, lima orang, atau sekelompok orang). Jadi, lafaz khas adalah lafaz yang arti didalamnya tidak mencakup semua, tetapi hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Contoh:
Al-Qur’an: al-‘araf:32
( قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ الله الَّتِى اَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطِّبَاتِ مِنَ الرِّقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْافِى الحَيوة الدُّنْيَ خَالِصَةًيَوْمَ القِيَامَةِ )
Pada ayat ini menunjukkan adanya hukum kebolehan semua perhiasan dipakai. lafaz perhiasan (زِيْنَةَ) mencakup semuanya, yaitu: cincin, emas, perak, pakaian, permata, kalung dan sebagainya.
Masing-masing jenis perhiasan tersebut disebut satuan ‘am (afrad al-‘am/(اَفْرَادُالعَام) ), kemudian perhiasan jenis cincin emas dikeluarkan dari ketentuan ayat 32 surat al-‘araf, sebab cincin emas tidak dipakai oleh orang laki-laki berdasarkan ada sebuah hadist yang membatasi keumuman ayat ke 32 tersebut. Hal seperti ini disebut takhsis (تَخْصِيْص), karena itu, ketentuan dalam hadist disebut mukhasis (مُخَصِّص),sebab hanya menunjukkan satu hal saja, yaitu cincin emas dan hadithnya disebut khas (خَاص)
Dengan demikian, lafaz khas adalah mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan lafaz ‘am dari ketentuan lafaz (dalil) ‘am dan ketentuan lafaz ‘am tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada dan memang tidak dikeluarkan.
Klasifikasi Bentuk Lafaz Khas
Lafaz khas yang bentuknya dapat disimpulkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu khash bentuk muthlak, berbentuk khas, berbentuk amr dan berbentuk nahiy.
Lafaz khas berbetuk mutlaq, yaitu: lafaz khas yang tidak ditentukan dengan sesuatu[6].
Maksudnya, jika didalam nash itu ditukar lafaz khas, maka lafaz ini harus diartikan sesuai dengan arti hakiki, selama tidak ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki ke arti lain.[7]
Contoh:
- Hukuman 80 kali cambuk bagi pezina, tidak boleh lebih dari dan tidak boleh pula kurang
- Hukum zakat untuk kambing adalah 1 (seekor) kambing
- Hukum zakat fitrah adalah 1 (satu) so’ beras/gandum
Dalam masalah zakat, ketentuan tersebut boleh dilakukan dengan cara mengeluarkan:
- Seekor kambing atau sejumlah uang yang senilai seekor kambing
- 1 so’ beras atau sejumlah uang yang senilai 1 so’ beras
Sebab zakat adalah untuk kepentingan fakir miskin yang keadaannya pada satu saat barang lebih bermanfaat daripada uang dan pada saat uang lebih bermanfaat dari pada beras,
Oleh sebab itu, lafaz khas yang berbentuk mutlak harus dilaksanakan sesuai dengan artinya secara mutlak dan kalau dikaitkan harus sesuai pula dengan kaitannya.[8]
Lafaz khas berbentuk khas (muqayyad), yaitu: lafaz khas (muqayyad) yang ditentukan dengan sesuatu.[9]
Jika lafaz khas yang berbentuk muthlak itu didalam nas lain ditemukan dan diterangkan secara muqayyad, sedang pokok pembicaraan dan sebab-sebabnya sama, maka semua hukumnya harus ikut sama.[10]
Contoh:
Hukum dan sebabnya sama
Contoh
Masalah darah
- Al-maidah :3, darah ditentukan dalam bentuk lafaz ‘am, baik membeku atau mengalir
- Al-an’am :145, darah ditentukan dalam bentuk lafaz muqayyad, yaitu darah dalam bentuk mengalir.
Jika demikian yang mutlak harus mengikuti yang muqayyad, yaitu darah yang mengalir
Hukum dan sebabnya berbeda
Jika demikian, yang mutlaq tetap berlaku sesuai dengan arti kemutlakannya. Sekalipun demikian para ahli berbeda pendapat, yaitu[11]:
- Imam Hanafi berpendapat bahwa lafalz yang mutlaq tetap berlaku sesuai dengan arti kemutlaqannya
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafalz yang mutlak harus diartikan dengan yang muqayyad.
Hukum berbeda dan sebabnya sama
Contoh
Masalah bersuci, yaitu al-maidah :6
)(فَغْسِلُوْاوُجُوْحَكُمْ وَاَيْدِيْكُم اِلَى المَرَافِقِ)
- Ayat ini menjelaskan tentang hukum wudu, sebabnya adalah bersuci, yaitu al-maidah :6
(فَامْسَحُوْابِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِنْهُ)
- Ayat ini menjelaskan tentang hukum bertayammum, sebabnya adalah bersuci
Jika demikian, lafaz muthlak harus diartikan sesuai dengan ke-mutlak-kanya dan yang muqayyad (terikat) harus diartikan sesuai dengan kemuqayyadannya.
Hukum sama,sebabnya berbeda
- Al-Nisa’:92. Menjelaskan masalah sanksi hukuman bagi pembunuhan bersalah dengan membayar kafarah memerdekakan budak yang mukmin
- Al-Maidah ;3, menjelaskan masalah sanksi hukuman bagi pezina dengan membayar kafarah, yaitu memerdekakan budak, baik mukmin atau kafir.
Jika demikian, maka yang muthlak harus diartikan sesuai dengan kemuthlakannya dan yang muqayyad diartikan sesuai dengan kemuqayyadanya
lafaz khas berbentuk amr, yaitu:
Jika lafaz khas itu berbentuk amr atau berbentuk kata yang mengandung arti amr atau berbentuk khabar, maka hukumnya adalah wajib.
Contoh
- Berbentuk amr, dalam wujud fi’il amr yaitu:
(فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَكُمْ)
- Berbentuk khabar, dalam wujud kalam khabar, fi’il mudlari’ yang disertai lam amr,yaitu
(ـ وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ تَلَا ثَةَقُرُوء)
(- وَالوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَدُهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَاَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ)
- Berbentuk khabar, dalam wujud fi’il mudlari’ yang disertai lam amr yaitu:
(فَمَنْ شَهِدَمِنْكُمْ الشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ )
(لِيُنْفِقْ ذُوسَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ)
Lafaz khas berbentuk nahiy
Jika lafaz dibawakan dalam bentuk lafaz khas atau berbentuk yang mengandung arti nahiy, maka hukum yang terkandung didalamnya adalah haram.
Contoh:
)(وَلَاتُنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ)
Larangan pada ayat ini menunjukkan hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang menunjukkan bahwa arti ayat ini tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka pengertian hukunnya harus disesuaikan dengan tanda tersebut, sehingga memungkinkan mengandung arti makruh[12], do’a, irsyad, dan sebagainya.
Klasifikasi Takhsis
Taksis al-Qur’an dengan al-Qur’an (تَخْصِيْصُ القُرْآنْ بِالقرآن)
Takshish seperti ini bisa juga terjadi,sebab semua nash al-qur’an adalah qath’iy. Jika ada dua dalil yang satu ‘am dan yang lainnya khash, maka keduanya harus dikumpulkan dengan cara :
- Memakai dalil ‘am untuk hal-hal yang tidak termasuk dalam dalil khash
- Memakai dalil khash tetap pada posisinya.
Contoh:
(وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّاثَلَاَثَةَقُرٌوْءٍ)
(اِذَانَكَحْتُمْالمُؤْمِنَات ثُمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبل اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍتَعْتَدُّونَهَا)
- Ayat pertama berbentuk ‘Am untuk istri-istri yang tertalak secara mutlak, baik yang sudah bercampur atau belum sama sekali
- Ayat kedua berbentuk lebih khusus dari yang pertama, sebab ada panjelasan bahwa wanita tersebut belum pernah dicampuri.
Jika demikian, ayat kedua berfungsi untuk mentakshish ayatpertama,sehingga yang dipakai adalah hukum pada ayat kedua.
Taksis al-Qur’an dengan hadith (تَخْصِيْصُ القُرْآنْ بِالْحَدِيْثِ)
Jika hadiith itu mentakshish keumumam al-Qur’an, maka yang dikehendaki kemutlakan al-qur’an adalah yang ditakshish hadith, sebab yang dikehendaki kemutlakan al-qu’an adalah segala sesuatu yang tela dibatasi oleh hadith, sebagai sabda Nabi Saw.
Dalam keadaan seperti ini, para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:
Hadith mutawatir
Jika demikian,para ulama’ bersepakat untuk menyatakan bahwa al-qur’an dapat di-takhsis dengan hadith mutawatir, sebab keduanya berstatus sama, yaitu qat‘iyyatul ‘adalah[13]
Contoh:
(خَيْرًا الوَصِيَّة لِلْوَالِدَيَنِوَالَاقْرَبِيْنَ بِالمَعْرُوْف)
( لَاوَصِيَّةَلِوَارِثٍ)
Hadith Ahad
Seperti ayat mawaris dan hadith ahad, yaitu:
(لَايَرِثُوْ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَوَلَاالْكَافِرُالْمُسْلِمَ)
Dalam menaggapi keadaan al-Hadith seperti ini, para ahli berbeda pendapat, Yaitu:
- Kelompok Hanafi berpendapat bahwa al-hadith al-ah{adiy itu tidak dapat dijadikan sebagai mukhassis, sebab statusnya zanniyyatut dalalah.[14]
Kelompok Jumhur ulama ushul berpendapat bahwa hadith ah{ad bisa dipakai sebagai mukhassis, sebab dalam kenyataan banyak para sahabat yang melakukan pentakhsisan (pengecualian) terhadap kemutlakaan (keumuman) al-qur’an dengan hadith.
Takhsis Hadith Dengan al-Qur’an ( بِالقرآنالْحَدِيْثِتَخْصِيْصُ)
- Hadith tentang bersuci dengan cara berwuzu dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini bersifat umum, yaitu:
( لَايُقْبَلُ الله صَلَاةَاَحَدِكُمْ اِذَا أَحَدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّاءَ)
Allah tidak akan menrima salat kamu jika berhadas, sehingga ia berwuzu.(HR.Bukhari- Muslim)
- Al-Qur’an tentang bersuci dalam keadaan tertentu boleh dengan cara bertayammum, bukan dengan berwuzu. Hal ini lebih spesifik, yaitu situasi air tidak ada, yaitu:
وَاِنْكٌنْتُمْ مًرَضَى اَوْعَلَى سَفَرٍ اَوْ جَاءَ أَحَدٌمِنْكُمْ مِنَ الغَائِطِ اَوْلَامَسْتُمُ النَّسَاءَ فَلَمْ تَجشدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعيْدًا طَيِّبَا
Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau dating dari tempat buang air atau kamu sesudah campur dengan istrimu, kemudian tidak kamu temukan air (buat bersuci), maka bertayammumlah dengan tanah (debu) yang bersih (QS,An-Nisa’:43)
Takhsis Hadith Dengan Hadith (الْحَدِيْثِبِالْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ)
Contoh:
(فِيْمَاسَقَت السَّمَاءُالعُشُرُ )
Dalam tanaman yang disirami hujan ada zakatnya, yaitu 10%, (HR.Bukhari- Muslim)
Hadith ini bersifat umum, sebab tidak da kepastian berapa jumlah nominal nilai harta tanaman yang harus dikeluarkan zakatnya.
( لَيْسَ فِيْمَادُوْنَ خَمْسَةٍاَوْسُقٍ صَدَقَةٌ)
Tidak ada zakat dalam tanaman yang kurang dari lima ausuq. (HR.Bukhari-Muslim)
Hadith ini bersifat khusus, sebab ada ketentuan secara pasti jumlah nominal nilai harta tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu 5 ausaq. Dengan demikian, yang umum di-takhsis dengan yang khusus, artinya yang dipakai adalah dalil kedua, yaitu 5 ausuq.
Takhsis Dengan Ijma’ ( التَّخْصِيْصُ بِالِاجْمَاعِ)
contoh:
Dengan ijma’ bisa diketahui bahwa yang dikehendaki dengan lafaz umum adalah sebagian apa yang termasuk didalam lafaz umum tersebut.
Contoh:
(اِذَانُوْدِيَ لِلصَّلَاةِمِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِفَاسْمَعُوْا الَى ذِكْرِالله وَذَرُوْا الْبَيْعَ)
Jika dipanggil untuk shalat jum’ah, maka pergilah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.(QS,Al-Jumu’ah:9)
Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban salat jum’ah ini diberikan kepada semua orang muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ijma’ ulama’ mengatakan bahwa yang wajib hanyalah seorang laki-laki, lainnya tidak, seperti perempuan, anak kecil dan hamba
Takhsis Dengan Teori al-Qiyas ( بِالْقِيَاصِالتَّخْصِيْصُ )
Maksudnya adalah syara’ membuat dalil umum, lalu dalam satuan-satuannya memiliki hukum yang berbeda antara satuan yangsatu dengan yang lainnya. Ketentuan seperti ini diambil dari sistem yang dipakai dalam mengaplikasikan teori qiyas.
Contoh:
( الزِّأَنِيَةُوَالزَّانِى فَاجْلِدُوْاكُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَائَةَجَلْدَةً)
Pezina laki-laki dan perempuan hendaklah didera masing-masing dengan 100 kali dera. (QS,An-nur:25)
Ketentuan hukum yang ada pada ayat ini adalah mengecualikan pezina perempuan yang berstatus budak, sehingga budak hanya dikenakan hukuman seperdua dari yang merdeka berdasarkan ayat ini.
(فَااِنْ أَتَيْنَ بِفَاخِشَةٍفَعَلَيْهِنَّانِصْفُ مَاعَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ العَذَابِ )
Jika perempuan budak itu melakukan kejahatan (perzinaan), maka atasnya seperdua siksa pezina perempuan yang berstatus merdeka. (QS,An-Nisa’:25)
Mutlaq
Pengertian Mutlaq
Mutlak adalah lafaz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain[15]
Maksudnya adalah lafaz yang keadaannya masih bebas dan belum terpengaruh oleh suatu batasan yang dapat membatasi keluasan artinya dan dari pengertian inilah, maka mutlaq bisa diartikan sama dengan nakirah
Contoh:
- Rajulun (رجل) – rijalun (رجال) atau
- Surat: al-Mujadalah: 3
........ فتحرير رقبة........
Maka (wajib atasnya) memerdekaan seorang hamba sahaya pada ayat ini ditemukan adanya lafaz yang menunjukkan mutlak, yaitu: رقبة (hamba), baik mukmin atau tidak.
Muqayyad
Pengertian Muqayyad
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh suatu hal tertentu[16].
Jadi muqayyad adalah suatu lafaz yang menunjukkan adanya pengertian yang memiliki batasan-batasan yang mengikat dan mempersempit keluasan artinya, dan dari pengertian itulah, maka lafaz mutlaq sama dengan lafaz ‘am.
Contoh:
- Rajulun Mu’minun (رجل مؤمن) Rijalum Mu’minuna (رجا ل مؤمنون)
- Ayat surat an-nisa’: 92
..............و من قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة........
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (maka hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.
Ketentuan Hukum Dalam Kasus Lafaz Mutlaq dan Muqayyad
Pada dasarnya, para ahli usul bersepakat bahwa hukum yang terdapat di dalam lafadz mutlak, harus diaplikasikan (diamalkan) sesuai dengan sifat kemutlakkannya, selama tidak ada dalil yang membatasi akan kemutlakkannya. Begitu juga lafaz muqayyad, berlaku pula pada sifat kemuqayyadannya[17].
Sekalipun demikian, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika terjadi kasus dimana hukumnya disebutkan dengan menggunakan lafaz mutlak dan ditempat lain disebutkan dengan menggunakan lafaz muqayyad.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, para ahli ushul membuat 5 (lima) obsi (pilihan) sebagai jalan alternatifnya, tetapi tidak semua obsi tesebut disepakati oleh mereka[18], yaitu:
Yang disepakati, yaitu:
Hukum dan sebab hukumnya sama
Jika demikian, maka yang harus dipilih adalah memasukkan arti mutlak kedalam arti yang muqayyad, artinya muqayyad menjadi penjelas dari yang mutlak.
Contoh:
Mutlak:
.....حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنز ير
Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi
(QS. Al-maidah: 3)
Muqayyad
قل لا اجد فيما اوحي الي محرما علي طا عم يطعمه الا ان يكون ميتة او دما مسفوحا
Katakanlah ! tidaklah aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkun kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.
(QS. Al-An’am: 145)
Penjelasan:
Dalam kedua ayat tersebut, hukum dan sebabnya sama, yaitu
- Hukum haramnya memakan darah, tetapi bentuk lafadznya berbeda, yaitu:
- Ayat pertama berbentuk mutlak, yaitu lafaz addamu (والدم), baik mengalir atau sudah membeku dan
- Ayat kedua berbentuk muqayyad, yaitu lafaz daman masfuhan (دما مسفوحا), yaitu darah yang mengalir.
- Sebab sama, yaitu hendak makan.
Jika demikian, maka yang dipakai adalah ayat kedua, artinya yang mutlak diikutkan pada muqayyad, akibatnya hukum yang terpakai adalah hukum yang ada pada ayat kedua, yaitu darah yang mengalir, sedang yang beku, seperti limpa dan hati (liver) tidak haram.
Hukum dan sebab hukumnya berbeda.
Jika demikian, maka masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada artinya sendiri, artinya muqayyad tidak menjadi penjelas terhadap mutlak.
Contoh:
Mutlak:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangannya
Muqayyad:
يا ايها الذين امنوا اذا كنتم الى الصلاة فاغشلوا وجوهكم وايديكم
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu hendak shalat maka hendaklah kalian basuh mukamu dan tanganmu sampai siku. (QS. Al-Maidah:6)
Penjelasan:
Pada kedua ayat tersebut, ditemukan adanya hukum dan sebab hukum yang berbeda, yaitu:
- Surat al-Maidah:38 berbentuk mutlak, yaitu lafaz dan hukumnya adalah potong tangan untuk sebab pencurian.
- Surat al-maidah:6 berbentuk muqayyad, yaitu lafaz ايديكم الي المرافق dan tidak bisa dijadikan sebagai penjelas bagi ayat yang mutlak, karena hukumnya adalah wajibnya berwudhu untuk sebab mau melaksanakan shalat.
Karena berbeda dalam hukum dan sebab, maka masing-masing ayat harus tetap pada artinya sendiri, sekalipun lafaz aidiyahuma (ايديهما) sebagai penjelas (bayan) dari lafaz aidiyakum (ايديكم) sebagiamana yang dijelaskan dalam pembahasan masalah bayan.
Sebab hukumnya sama, tapi hukumnya berbeda.
Jika sama dalam hal hukumnya dan berbeda sebabnya, maka masing-masing mutlak dan muqayyad tetap pada artinya sendiri.
Mutlak
التيمم ضربة للوجه وضربة لليدين
Tayammum adalah sekali mengusap debu untuk wajah dan (kali dua) untuk kedua tangan. (HR. Ammar)
Muqayyad
.....فا غسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق......
Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku. (QS Al-maidah:6)
Penjelasan:
Kedua nash tersebut, dapat dimengerti bahwa lafadz yang terkandung didalamnya berbeda, yaitu:
- Pada hadith ini, terdapat lafaz yang bentuknya mutlak, yaitu اليدبن (kedua tangan) dan tidak ada batasnya, baik hanya jari-jari atau sampai siku, bahkan boleh jadi semua yang namanya lengan.
- Pada ayat ini terdapat lafaz yang bentuknya muqayyad, yaitu:
ايديكم الي المرافق (kedua tangan sampai siku) dan tidak bisa menjadi penjelas bagi mutlak, sehingga masing-masing lafaz, harus tetap pada artinya sendiri, karena obyek hukum keduanya berbeda, yaitu
- Hukum wajibnya bertayammum untuk lafaz dalam matan hadits
- Hukum wajibnya berwudhu untuk lafaz al-maidah:6
Sekalipun sebabnya sama, yaitu hendak melakukan shalat atau karena tidak suci atau berhadas.
Yang diperselisihkan, yaitu
Sebab hukumnya berbeda, tetapi hukumnya sama, maka para ahli ushul berbeda pendapat
- Imam Syafi’iy berpendapat bahwa arti lafa}z yang mutlak harus diikutkan pada arti lafaz yang muqayyad
- Imam Hanafiyah dan Malikiyah yang berpendapat bahwa lafaz yang mutlak tetap pada artinya sendiri dan tidak diikutkan artinya pada muqayyad .
Contoh :
Mutlak
...والذين يظاهرون من نسا ئهم ثم يعو دون لما قا لوا فتحرير رقبة من قبل ان يتما سا
Hai orang-orang yang mendhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur. (Al-Mujadalah:3)
Muqayyad
.........ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة......
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS. An-Nisa’: 92)
Sebab hukumnya sama, tapi obyek dan hukumnya berbeda.
Jika yang berbeda itu dalam obyek dan hukumnya, sekalipun sebab hukumnya sama, para ahli ushul berbeda pendapat, yaitu:
- Kelompok Syafi’iy, Malikiy dan Hanbaliy berpendapat bahwa lafaz mutlaq harus dibawa ke lafadz muqayyad. Dari pandangan inilah, zakat fitrah bagi hamba sahaya tidak wajib.
- Kelompok Hanafiy berpendapat bahwa lafaz mutlak tidak harus diikutkan pada lafaz muqayyad. Dari pandangan inilah, zakat fitrah bagi para hamba sahaya tetap wajib.
Lex Spesialis dan Lex generalis
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis)[19].
Fote Note
[1] Muhammad Ma’shum, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang, Maktabah Al-Syarifah Al-Khadijah, 2007),74.
[2] Abdul Hamid bin Muhammad, Lathaif al- Isyarah, (Singapura, Jiddah, Maktabah al- Haramain, tth.),28.
[3] Ibid.,28.
[4] Ibid.,28.
[5] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,(Cairo, Maktabah Dar al-Qalam, 1979),121.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta, Pustaka Firdaus, Cet. Ke VI, 2000), 235.
[7]Wahbah al-Zuhaili, Ushul al- Fiqh al-Islamiy, Juz:I, (Beirut, Dar al-Fikr, Cet. Ke-III, 1989), 208.
[8] Depag. Ri, al-Qur’an dan Terjemahnya ,(Jakarta, Badan Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1971),225
[9] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al- Fiqh al-Islamiy, Juz:I, (Beirut, Dar al-Fikr, Cet. Ke-III, 1989), 208.
[10] Ibid, 212.
[11] Al-Taftazaniy, Syarkh al-Talwih ‘Ala al-Tuadhih li Matni al-Tangih fi Ushul Al-Fiqh, (Mesir, Mathba’ah al-Shabih) juz:I, hal:63
[12] Ibid.,219.
[13] Al-syairaziy, abu ishaq Ibrahim bin ali yusuf, al-luma’ fi ushul al-fiqh,(Surabaya,mathba’ah al-hidayah, tth), 18.
[14]Zakariya al-anshari, abu yahya al-syafi’iy,ghayah al-wushul syarkh lubb al-ushul, (Surabaya,maktabah wa mathba’ah salim nabhan,tth), 78.
[15] Al-Syaukaniy Muhammad bin Ali Bin Muhammad, Irsyad al-Fukhul Ila Tahqiq al-Haqqi min ‘Ilm al-Ushul,(Beirut, Dar al Fikr, tth), 164.
[16] Ibid ,164.
[17] Madkhur, Muhammad Sallam, Ushul al-Fiqh al-Islamiy,(Mesir, Matba’ah al-Jami’ah al-Qahirah), 206-207.
[18] Muhammad Ma’shum Zein, Zubdatul Ushul al-Fiqh, (Jombang, Maktabah Dar alHikmah, 2007), 97.
[19] https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali diakses tanggal 21 November 2015, 15:45.
Demikian sedikit ulasan tentang Konsep, Kaidah dan Contoh Hukum 'Am, Khas, Mutlaq dan Muqayyad dalam Ushul Fiqh semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan artikel saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
Sangat bermanfaat sekali,
BalasHapuskomplit dan sangat jelas artikelnya
Terimakasih upresiasinya sob. Kami berusaha untuk memberikan yang terbaik, saling berbagi kemanfaatan... silahkan mampir lagi dilain kesempatan.....
Hapus