Artikel Education, General And Islamic

Sejarah Hukum Perkawinan Setelah UU No. 1/1974

Artikel terkait : Sejarah Hukum Perkawinan Setelah UU No. 1/1974


Setelah berlakunya undang-undang perkawinan nasional. UU no 1/1974, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian pembuwat undang-undang tidak menuntup kemunkinan lagi terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk negara indonesia dan karena masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat kita jumpai pengaturannya dalam undang-undang tersebut, yaitu sebagai yang di atur dalam bagian ketiga dari bab XII, ketentuan-ketentuan lain.[1]
Pasal 60 UU no, 1/1974 kemudian menyatakan. Perkawinan menyatakan, perkawinan campuran baru dapat di langsungkan bilamana para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagai di tentukan oleh hukum yang berlaku bagimasing-masing pihak (ayat 1). Hal mana harus di buktikan dengan surat keterangan dari mereka yang mernurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatatkan perkawinan (ayat 2).
Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang membuktikan bahwa syarat-syarat sebagai di tentukan oleh pasal 60  uu no,1/1974 di atas di ancam dengan hukuman pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, sedangkan bagi pegawai pencatat yang mencatatkan perkawinan semacam itu ancaman hukumanya di tinkatkan menjadi hukuman kurungan tiga bulan dan di tambah pula dengan hukuman jabatan (pasal 61 ayat 2 dan ayat 3).[2]
Berbeda dengan hukum perkawinan sebelum yang menganut konsepsi hukum perkawinan perdata, undang-undang No.1/1974 justru memberi peranan yang sangat menentu syah/tidaknya suatu perkawinan kepada hukum  agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai , di sampeng unsur-unsur  lain selain unsur biologis, sosial dan unsur hukum adat.[3]
Keadaan sebagai di maksud,akan nampak dengan jelas dalam pasal dalam pasal  2, yang menjadi hukum agama dan kepercayaan itu sebagai ukuran untuk menemukan sah/tidaksahnya suatu perkawinan. Pasal 8 sub f mengenai larangan perkawinan berdasarkan agama dan pasal 51 ayat (3), yang menentukan bahwa wali dalam melaksanakan tugasnya wajib menghormati agama atau kepercayaan si anak yang berada di bawah perwaliannya.[4]



[1] R wirdjono prodjodikoro. Op.cit, h. 95-96
[2] Asmin S.H. status perkawinan antar agama di tinjau dari UU perkawinan NO, 1/1974
[3] R. Sardjono. Berbagai-bagai masalah dalam undang-undang RI no. 1tahun 1974 teng\tang pperkawinan h 88.
[4] Ibid.

Artikel Arwave Blog Lainnya :

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz