Undang-undang Perkawinan
Dalam kaitannya dengan
Perkembangan hukum islam pada masa antagonistic ini penting untuk dicatat
tentang keberadaan UU perkawinan. Pada tanggal 16 agustus 1973 pemerintah mengajukan
RUU perkawinan. Sebulan diajukan RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan
umat islam. RUU tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran islam dan ada
anggapan anggapan yang lebih keras lagi, RUU tersebut ingin mengkristenkan
Indonesia. Di lembaga legislatif, FPP adalah fraksi yang paling keras menentang
RUU tersebut karena bertentangan dengan fiih islam.
Melalui lobbying-lobying
antara tokoh-tokoh islam dengan pemerintah akhirnya RUU tersebut diterima oleh
kalangan islam dengan mencoret pasal-pasal yang bertentangan degan ajaran
islam. Agar pembahasannya berjlan lancar maka dicapai sutu kesepakatan antara
fraksi PPP dan fraksi ABRI yang isinya sebagai berikut;
1.
Hukum
agama islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.
Sebagai
konskuensi dari poin satu maka alat-alat pelaksanaanya tidak akan dikurangi
atau diubah, tegasnya UU no. 22/1946 dan UU no. 14/1970 dijamin
kelangsungannya.
3.
Hal-hal
yang bertentangan dengan agama islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan UU
ini dihilangkan.
4.
Pasal 2
ayat (1) dari rancngan UU ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut;
a.
Ayat
(1): perkawinan adalah sah apabila dilakukan enurut hukum msing-masing agamanya
dan kepercayaanya itu
b.
Ayat
(2): tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan UU yang berlaku
5.
Mengenai
perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan.
Akhirnya pasal-pasal yang
menimbulkan keberatan di kalangan islam itu dihapuskan. Setelah melakukan rapat yang berulang-ulang, akhirnya
pada tanggal 22 desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR, RUU tersebut disetujui
untuk disahkan. Pada tanggal 2 januari 1974 RUU tentang perkawinan disahkan DPR
menjadi UU no. 1 tahun 1974 tentang Undang-undang perkawinan yang selanjutnya
berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
Fase berikutnya adalah
hubungan yang sifatnya resiprokal-kritis (1982-19850. Pada periode ini hubungan
islam dan Negara ditandai dengan proses saling memahami posisi masing-masing.
Periode ini diawaali oleh political test yang dilakukan oleh pemerintah dengan
menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsopol dan selanjutnya untuk ormas di
Indonesia.
Berkaitan dengan perkembangan
hokum islam, dalam masa ini tidak ada yang signifikan dalam kaitanny dengan
political will emerintah. Agaknya perkembangan hokum islam baik secara
kelembagaan dan produk-produk pemikiran semakin kentara pada era
akomodatif seperti yang akan dijelaskan
di bawah ini.
Hubungan yang bersifat
akomodatif ini ditandai dengan sikap pemerintah yang mulai tampak mengakomodasi
kepentingan-kepentingan umt islam. Di kalangan umat islam sendiri muncul
kesdaran bahwa kebijakan pemerintah tidak akan menjauhkan mereka dari
ajaran-ajaran agama. Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan bukti akomodasi
Negara terhadap islam, seperti, pengesahan RUU pendidikan nasional, RUU
peradilan agama, kelahiran ICMI, kelahiran BMI (Bank Muamalat Indonesia) dan
yang paling tarakhir adalah KHI, UU perbankan, UU haji, dan UU pengelolaan
zakat.[1]