Rukun dan Syarat Akad Dalam Fiqh Muamalah
Rukun dan Syarat Akad Dalam Fiqh Muamalah - Sah dan tidak sahnya akad dalam muamalah ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat akad muamalah itu sendiri, dalam artikel ini saya akan mengulas sedikit tentang rukun akad dan syarat akad agar dalam bermuamalah kita mengetahui dan memiliki dasar hukum melaksanakannya.
Image From abufawaz.wordpress.com
Rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat dua orang atau lebih, berdasarkan keridaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak hak dan iltijam yang diwujudkan oleh akad. [1] Adapun rukun-rukun akad adalah sebagai berikut :
- ‘Aqid ialah orang yang berakad dan terlibat langsung dengan akad, contoh: penjual dan pembeli
- Ma’qud’alaih yaitu sesuatu yang diakadkan, contoh: harga atau yang dihargakan.
- Sịgat 'aqad yakni ijab dan qabul.[2]
Menurut ulama Hanafiyah rukun akad hanya satu yaitu, sigat akad yang terdiri dari ijab dan qabul.[3]
Sedangkan unsur–unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan akad. Berikut ini adalah uraian yang lebih rinci dari unsur rukun akad tersebut :
Unsur pertama : Sigat akad
Sigat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Sigat akad dapat dilakukan dengan ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan.
Unsur kedua : Al-‘aqid (orang yang berakad)
Orang yang berakad disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan akad. Menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah orang yang berakad harus berakal, yakni sudah mumayyis. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan orang yang berakad harus balig, berakal dan mampu memelihara agama dan hartanya.
Unsur ketiga : Mahal al-'Aqd atau al-Ma'qud 'alaih
Mahal al-'Aqd atau al-Ma'qud 'alaih adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad. Adapun obyek akad ini fuqaha menetapkan lima syarat yang harus dipenuhi oleh obyek akad.
Berdasarkan syarat ini barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan obyek akad. Namun ada perbedaan pendapat tentang akad atas barang yang tidak tampak. Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah melarang secara mutlak berbagai urusan atau barang yang tidak tampak, kecuali dalam beberapa hal, seperti upah mengupah dan menggarap tanah. Ulama Malikiyah hanya menetapkan pada akad yang sifatnya saling menyerahkan mu’awadah dalam urusan harta, sedang yang bersifat tabarru’ mereka tidak mensyatarkannya.
Dapat diserah terimakan ketika akad berlangsungObyek akad harus diketahui oleh pihak 'aqid
Obyek akad harus suci.[4]
Pembahasan pada unsur-unsur rukun akad ini bahwa keseluruhan fuqaha sepakat, akan tetapi perbedaannya terletak pada unsur obyek akad yang terdapat pada syarat yang kelima, yaitu pada kesucian obyek akad, ulama Hanafiyah mengatakan hal ini tidak termasuk ke dalam persyaratan obyek akad.[5]
Syarat-Syarat Akad
Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas sebelumnya ada beberapa konsekuensi hukum dalam macam syarat-syarat akad, yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan dan syarat keharusan luzum.
Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara', jika tidak memenuhi maka batal, syarat ini ada dua bagian : Pertama, umum yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad. Kedua, khusus yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya.
Syarat sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara' yang berkenaan untuk menerbitkan atau tidak adanya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak dipenuhi akadnya menjadi fasid (rusak). Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan dan syarat-syarat jual beli rusak.[6]
Syarat pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas untuk beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya dan sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasaruf sesuai dengan ketentuan syarat, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya sendiri maupun sebagai pengganti atau menjadi wakil seseorang.[7]
Syarat kepastian hukum luzum
Dasar dalam akad adalah kepastian dan ini suatu syarat yang ditetapkan oleh syara' berkenaan kepastian sebuah akad. Di antaranya syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar 'aib dan lain-lain.[8]
Pada pelaksanaan seperti melakukan suatu transaksi harus berlandaskan pada persyaratan akad, hal ini sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang tertera pada syarat di atas.
Adapun secara umum suatu syarat yang dinyatakan sah adalah sebagai berikut :
- Tidak menyalahi hukum syari'ah yang disepakati
- Harus sama rida dan ada pilihan
- Obyeknya harus jelas
Begitu pula halnya tentang pembatalan perjanjian tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, namun demikian pembatalan perjanjian dapat dilakukan apabila :
- Jangka waktu perjanjian telah berakhir.
- Salah satu pihak menyimpang dari apa yang diperjanjikan.
- Jika ada bukti kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan).[9]
Fote Note
- Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm . 46
- Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hlm . 45.
- Ibid., hlm. 45.
- Ibid., hlm. 36-61.
- Ibid., hlm, 61.
- Ibnu Abidin, Radd al Mukhtar’ala Dar al-Mukhtar, IV: 6
- Rahmad syafe'i, Fiqh Muamalah, hlm. 65
- Ibid., hlm. 65-66
- Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjajian dalam Islam., hlm. 4
Demikian sedikit ulasan artikel tentang Rukun dan Syarat Akad Dalam Fiqh Muamalah semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya sampai jumpa pada artikel selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!