Redefinisi Madzhab
Madzhab,
secara bahasa diartikan pendapat (view, opinion, ra’y), kepercayaan,
ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham, aliran
(school, al-ta’lim wa al-thariqah). Kemudian yang dimaksud bermadzab
adalah mengikuti madzab tertentu dalam sistem pengambilan hukum Islam/fiqih.[1]
Sejarah
timbulnya madzab bermula dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang imam atau
mujtahid yang kemudian hasil ijtihadnya itu diikuti oleh para murid-muridnya.
Lama-kelamaan melalui proses dialektis, terjadi pembakuan baik dalam manhaj
maupun corak pemikiran hukum Islam hasil ijtihad para imam, dan dari sinilah
madzab terbentuk. Pada mulanya dikenal madzab sebuah kota atau daerah (misal
madzab Hijazi dan madzab Iraqi), tapi madzab berbasis kedaerahan ini berakhir
setelah munculnya Imam Syafi’i yang mengembalikan basis madzab dari daerah ke
individu. Lalu munculah madzab berbasis individu atau imam diantaranya yang
terkenal : madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Bermadzab
tidak musti harus mengikuti pendapat imam madzab dari kata-katanya (fi
al-aqwal), mamun bisa dalam metodologinya (fi al-manhaj), bahkan
juga untuk mengembangkan metodologinya, bukan lagi mengikuti manhaj yang sudah
ada. [2]Dengan
demikian, sudah pasti akan menimbulkan adanya perbedaan. Baik dalam hal
perkataan ataupun metodologinya. Perbedaan tersebut sangatlah umum, sehingga
hamper semua pemikir berpendapat demikian.
Adapun dalam bermadzhab dapat
dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan atau level, yaitu sebagai berikut:
1.
Taqlid kepada fuqaha madzab, atau ulama’
madzab. Misalkan taqlid kepada ulama’ syafi’iyah yang pada hakikatnya bertaqlid
kepada fuqoha’ as-syafi’iyah (ulama’ yang bermazhab as-syafi’i) yang
thabaqatnya (tingkatan keilmuan dan masa hidupnya) jauh dari imam syaf’i itu
sendiri.
2.
Taqlid kepada imam madzab secara langsung.
Misalkan bertaqlid kepada imam syafi’i. Cara bermazhab tingkatan kedua ini
adalah selalu merujuk kepada kitab-kitab yang ditulis langsung oleh imam
syafi’i. Yakni Al-Umm, Al-Risalah, Musnad, Ikhtilaf al-Hadist, dll.
3.
Ittiba’ kepada ulama madzab atau langsung
kapada imam madzab (imam Syafi’i). Tingkatan ketiga ini lebih tinggi dari
pada tingkatan kedua. caranya adalah dengan mengikuti langsung imam syafi’i
dengan menjadikan karya-karyanya sebagai rujukkan, yakni mengikuti pendapat
imam syafi’i dengan mengetahui dalil yang dijadikan landasannya.
4.
Bermadzab fi
al-manhaj, dalam tingakatan ini seseorang berani mengambil resiko untuk
berbeda pendapat dengan imam mazhab (imam syafi’i) dalam tataran hasil
pemikirannya, meskipun manhajnya mengikutinya. Ulama’ yang mengikuti
metodologi yang dipaki oleh imam syafi’i, masih tetap dianggap sebagai pengikut
mazhab imam syafi’i.
5.
Mengembangkan
metodologi imam madzab.[3] Ada beberapa hal
yang dapat dikembangkan dalam masalah metodologi ini, antara lain konsep
mashlahah, reinterpretasi nash, revisi kaidah fiqhiyah yang mempertentangkan
antara mashlahah ammah dengan mashlahah khoshosh.bahkan juga sampai menciptakan
metode atau manhaj dalam berijtihad baru yang diakui secara akademik dan
terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad dan sekaligus hasil pemikiran
ulama’ masa lalu.