Artikel Education, General And Islamic

Berbakti Kepada Keluarga dan Kerabat

Artikel terkait : Berbakti Kepada Keluarga dan Kerabat

Berbakti kepada keluarga dan kerabatBerbuat baik kepada orang lain tentunya merupakan salah satu ajaran dari ajaran-ajaran setiap agama. Tidak terkecuali agama Islam juga menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang lain. Karena agama Islam adalah agama yang yang mengatur setiap sendi dari kehidupan manusia, baik yang kecil apalagi yang besar.

berbuat baik kepada orang lain tentunya sangat penting, karena dengan berbuat baik kepada orang lain akan tercipta kehidupan yang aman, tenang dan bahagia. Tentunya kehidupan yang aman, tenang, dan bahagia merupakan idaman bagi setiap manusia.

Karena begitu pentingnya berbuat baik, maka makalah ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana aturan agama Islam dalam hal itu.

Keluarga dan Kerabat
Image From warnativa.wordpress.com

Pembahasan

Di dalam Al-Qur’an Allah SWT begitu banyak menganjurkan berbuat baik atau berbakti kepada orang lain. Berbakti kepada orang lain tentunya dimulai dari yang paling dekat, yaitu keluarga dan kerabat. Diantara ayat yang menganjurkan untuk berbakti kepada keluarga dan kerabat yaitu firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat 83:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوالِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (83)

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
Di dalam ayat ini Allah menganjurkan berbuat baik untuk orang-orang yang berada di sekitar kita, baik itu kedua orang tua kita, kau kerabat, anak yatim, orang miskin. Ayat ini juga menyatakan bahwa orang yang paling pertama mendapatkan bakti adalah orang tua setelah itu baru yang lainnya.

Allah subhanahu wata’ala dalam ayat ini menggunakan kata “Ihsan” (berbuat baik). Artinya berbuat kepada orang lain itu tanpa mengaharap balas.  Ketika seorang muslim berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya, maka yang menjadi landasan adalah keimanan kepada Allah, karena dengan demikian maka ia akan mendapatkan pahala dariNya.

Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka menyatakan bahwa hendaknya manusia berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Karena dengan rahmat dan karunia Allah SWT, maka orang tua itu menumnpahkan kasih sayang kepada anak, mendidik dan mengasuh. Terutama disaat si anak belum dewasa, tidaklah sanggup si anak menempuh hidup di dunia ini kalaulah bukan karena kasih sayang yang dianugrahkan Allah SWT kepada kedua orang tuanya.[1]

Semakna dengan penafsiran Hamka, maka Muhammad Nasib Ar-Rifa’i menyatakan bahwa Allah SWT mengajarkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, karena Allah SWT telah menjadikan keduannya sebagai sarana guna mengeluarkannya dari tiada menjadi ada.[2] 

Kedua pendapat diatas diperkuat oleh Al-Maragi bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua dengan kebaikan yang sempurna dan lengkap, jangan tanggung-tanggung dan jangan merasa keberatan. Sikap seperti ini mengharuskan sikap seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk sekecil apapun.[3]

Bebuat baik kepada kedua orang tua merupakan kebaikan yang sangat besar, sehingga Allah SWT menggandengkannya dengan dengan beribadah kepadaNya, serta meletakkannya sebagai wasiat yang kedua diantara wasiat-wasiat Allah SWT.[4] Diayat yang lain Allah SWT juga menggandengkan bersyukur kepadaNya dengan bersyukur kepada kedua orang tua sebagaimana firmanNya dalam surat Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.

Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Begitu juga didalam hadis juga disebutkan kedudukan orang tua yang disetarakan dengan amal-amal lain yang besar, sebagaimana sabda nabi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَقْرَبُ إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مَوَاقِيتِهَا قُلْتُ وَمَاذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ وَمَاذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, saya bertanya wahai nabi amal apa yang saja yang bisa mendekatkan ke syurga, jawab rasul shalat btepat pada waktunya, saya bertanya lagi kemudian apalagi? Berbuat baik kepada kedua orang tua, saya berkata, kemudian apa lagi? Berjuang di jalan Allah SWT. HR. Bukhari dan Muslim

Dari ayat dan hadis diatas, maka bisa diketahui betapa besarnya nilai berbuat baik kepada kedua orang tua.

Ketika seseorang masih kecil maka orang tuannyalah yang dengan cara apapun ingin mendidik, melindungi, menjaga dll. Sesudah anak tadi menjadi dewasa dan sudah mampu, hendaknya ia ganti berbakti kepada orang tua. Berbakti kepada orang tua bisa dilakukan ketika orangtua masih hidup. Bagaimana caranya ?  Diajarkan oleh Rasulullah SAW, misalnya : Hormat kepada kedua orangtua. Kalau berbicara dengan orang tua, anak harus lebih rendah suaranya dibanding orang tua.  Dengan kalimat dan bahasa yang halus. Jangan menyingung hati orangtua.

Ketika orang tua masih hidup, si anak harus mengutamakan orangtua daripada orang lain. Misalnya kita menyediakan makanan dan minuman bagi orang tua, kebetulan anak kita minta makanan itu, beritahu anak tersebut bahwa makanan itu untuk nenek-kakek, tidak boleh dimakan siapa-siapa. Sambil mengambilkan makanan untuk anak kita itu dari tempat makanan yang lain.   Jadi orang tua harus di utamakan (didahulukan).

Selain berbakti kepada orang tua semasa hidupnya, maka berbakti kepada kedua orangtua bisa juga dilakukan ketika orangtua sudah wafat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan untuk berbakti kepada orang tua kita yang sudah meninggal dengan 4 hal :
  1. Mensholatkan orang tua ketika meninggal dunia (sholat jenazah).
  2. Memohonkan ampunan kepada Allah subhanahu wata’ala
  3. Melaksanakan pesannya. (Misalnya pesan untuk selalu bersilaturahim dengan saudara-saudara kita. Maka ketika si anak bersilaturahim dengan saudara atau teman orang tua kita, berarti ia berbakti kepada kedua orangtuanya yang sudah wafat).
  4. Memuliakan sahabat dan kerabat orangtua yang sudah wafat.

Setelah berbuat baik kepada kedua orang tua, dilanjutkan berbuat baik kepada kerabat dekat, yang dimaksud keluarga dekat yaitu keluarga yang berhubungan darah, baik itu anak, saudara, paman, bibi, kakek, nenek dll.[5] Ia juga menyatakan bahwa yang paling dekat dari kerabat yaitu anak kandung dan saudaranya. Anak kandung yang sudah lepas dari tanggunganya tetapi miskin, maka lebih didahulukan dari pada yang lainnya.[6]

Dengan adanya kerabat dekat maka hidup di dunia akan terasa lebih nikmat, dengan adanya kasih sayang dengan kerabat maka akan timbul kehormatan kekeluargaan, serta aturan-aturan yang tidak tertulis namun bisa dijalankan.[7]

Berbuat baik kepada kerabat memang sebuah keharusan, karena hal itu merupakan sebuah faktor yang bisa memperkuat tali kekerabatan. Suatu umat dan masyarakat adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan rumah tangga-rumah tangga. Oleh karena itu kebaikan umat dan masyarakat maka tergantung pada kebaikan keluarga.[8]

Memperkukuh hubungan kerabat adalah suatu fitrah. Agama datang untuk membangkitkan manusia untuk menghubungkan dan menguatkan ikatan kerabat, serta meneguhkan sendi-sendinya dan manyatakan bahwa hak kerabat harus didahulukan sebelum hak-hak yang lain menurut tingkatan dari ayat 83 dari surat Al-Baqarah tadi.[9]

Ketika menafsirkan ayat ke 83 dari surat Al-Baqarah di atas As-Sa’di menjelaskan bahwa kata “ihsan” mencakup berbagai macam kebaikan, baik itu dari perkataan maupun perbuatan. Kemudian ia menjelaskan bahwa ketika Allah SWT memerintahkan berbuat baik maka secara otomatis Ia melarang perbuatan jelek, karena memerintahkan  suatu amal berarti melarang dari lawan perintah itu (al-amr bi asy-syai nahyu ‘an dhiddih).[10]

Kata “ihsan” mempunyai dua lawan kata, yang pertama yaitu lawan dari kejelekan, sedang yang kedua adalah lawan dari meninggalkan perbuatan baik walaupun tidak berbuat jelek.[11] Dari sini dapat dipahami bahwa ketika selain dilarang berbuat jelek kepada keluarga dan kerabat, juga ada larangan yang lain yaitu larangan meninggalkan perbuatan baik kepada keluarga dan kerabat walaupun tanpa berbuat jelek.

Pendapat As-Sa’di tersebut dikuatkan oleh Muhammad Quraish Shihab dengan menyatakan bahwa kata “ihsan”, sebagaimana ia kutib dari ar-Raghib al-Asfahani, digunakan untuk dua hal. Pertama, memberi nikmat kepada orang lain, yang kedua, perbuatan baik. Karena itu kata ihsan lebih luas daripada hanya memberi nikmat atau nafkah. Bahkan makna ihsan lebih tinggi daripada adil. Karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada diri anda. Sedangkan ihsan adalah memperlakukannya lebih baik daripada perlakuannya terhadap anda. Adil adalah mengambil semua hak anda atau memberi semua hak orang lain, sedangkan ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda ambil.[12]      

Selain menggunakan kata ihsan, ayat tadi juga menggunakan kata husna kepada orang lain, yaitu sebagaimana firmanNya: وَقُولُوالِلنَّاس حُسْنًا ِ (serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia). Kata husna mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi. Ucapan yang disifati seperti itu adalah ucapan yang kandungannya benar, yaitu sesuai dengan pesan yang akan disampaikan, serta indah, bukan hanya ucapannya yang indah akan tetapi juga kandungan ucapan itu juga harus indah.[13]

Termasuk dalam ucapan yang baik yaitu perintah berbuat yang baik dan melarang dari yang munkar, mengajar, mengucapkan salam, dan juga bermuka manis.[14]

Selaras dengan makna “husna” yang diampaikan oles As-Sa’di di atas, Muhammad Ali Ash-Shabuni memberikan pengertia bahwa kata “husna” adalah kata benda yang mencakup makna-makna kebaikan, bisa juga berarti kelembutan perkataan, tata krama yang baik, dan akhlaq yang mulia.[15]

As-Sa’di tadi diperkuat oleh Hasbi as-shiddieqy bahwa makna dari perkataan yang baik itu adalah mempergauli manusia dengan melakukan hal-hal yang memberikan manfaat dunia dan akhirat.[16]

Semua orang diperintahkan untuk mengucapkan yang baik, karena dengan mengucapkan yang baik akan terjalin hubungan yang harmonis. Apalagi bila didasari bahwa Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berucap yang benar. Bila suatu ucapan itu baik dan benar, maka itu pertanda ketulusan dan kejujuran, sehingga seandainya ucapan itupun merupakan kebenaran yang pahit, namun jika disampaikan dengan baik dan bijaksana, maka diharapkan ia akan diterima dengan baik pula oleh lawan bicara dan pendengarnya.[17]

Kesimpulan

Berbuat baik kepada orang lain merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan ini. Karena dengan perbutan baik yang terjadi antara satu orang dan lainya atau apabila setiap kelurga berusaha mewujudkan kebaikan didalam keluarganya maka akan menjadikan kebaikan yang menyeluruh di dalam hidup masyarakat.

Berbuat baik ini bersifat umum, artinya perbuatan baik itu mencakup segala kebaikan. Baik  berupa perkataan atau pun perbuatan.

Berbuat baik kepada orang lain memang dianjurka di dalam agama Islam. Islam juga mengatur bahwa perbuatan baik itu dimulai dari orang yang paling dekat, yaitu kedua orang tua, anak, saudara, paman, bibi, kakek, nenek dll.

Daftar Pustaka

Al Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maragi, Semarang: CV. Toha Putra
As-Sa’di , Abdurrahman bin Nashir, Taisir Karim Ar-Rahman, Beyrut: Muasasah Ar-Risalah, 2002.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: PT. Citra Serumpu Padi, 2007
Ash-Habuni, Muhammad Ali, Shafwatut Tafasir Tafsir-tafsir Pilihan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011
ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1993
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 2005
Shihab, Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000

Fote Note
[1] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: PT. Citra Serumpu Padi, 2007), jld. 1, hal. 30.
[2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2005), jld. 1, hal. 708.
[3] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jld. 7, hal. 113.
[4] Ibid.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, jld. 1, hal 30.
[6] Ibid. Jld. 2, hal.232.
[7] Ibid. Jld. 5, hal. 64.
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hal. 146.
[9] Ibid.
[10] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman, (Beyrut: Muasasah Ar-Risalah, 2002), hal. 57.
[11] Ibid.
[12] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jild. 1, hal. 238-239.
[13] Ibid.  hal. 239.
[14] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman, hal. 57.
[15] Muhammad Ali Ash-Habuni, Shafwatut Tafasir Tafsir-tafsir Pilihan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), jld. 1, hal. 124.
[16]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, hal. 146.
[17] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, jld. 1, hal.

Demikian sedikit ulasan tentang Berbakti Kepada Keluarga dan Kerabat semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar. 

Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz