Berbuat Baik Pada Tetangga
Berbuat Baik Pada Tetangga - Dalam Kitab al-lu’lu’ wal marjan disebutkan :
عن أبي شريح العدوي قال: سمعت أذناي، وأبصرت عيناي، حين تكلم النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه جائزته). قال: وما جائزته يا رسول الله؟ قال: (يوم وليلة، والضيافة ثلاثة أيام، فما كان وراء ذلك فهو صدقة عليه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخرفليقل خيراًأوليصمت).
Artinya:
Hadits Abu Syuraih Al-‘adawi dimana ia berkata : kedua telingaku mendengar dan kedua mataku melihat ketika Nabi saw bersabda: ”barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dengan jamuan yang baik” ia bertanya: “wahai Rasulullah berapa lama jamuan yang baik itu? Beliau menjawab: sehari-semalam, dan lama bertamu itu tiga hari, sedangkan seelbihnya adalah shadaqah atasnnya, dan barang siapa yang beriman kepada allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam saja”.[1]
Image From www.hidayatullah.com
Hadits di atas juga banyak terdapat dalam kitab induk lainnya, seperti Kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim.
Dalam Kitab Shahih Bukhori bab tentang larangan menghina tetangga (6017-6019)
6017 - حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث: حدثنا سعيد، هو المقبري، عن أبيه، عن أبي هريرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (يا نساء المسلمات، لا تحقرن جارة لجارتها ولو فرسن شاة).[2]2]
Dan dalam kitab shohih muslim bab tentang kewajiban mengormati tetangga dan tamu dan kewajiban diam kecuali berkata baik (74-77)
77 - (48) حدثنا زهير بن حرب ومحمد بن عبدالله بن نمير، جميعا عن ابن عيينة، قال ابن نمير: حدثنا سفيان بن عمرو؛ أنه سمع نافع بن جبير يخبر عن ابن شريح الخزاعي؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليحسن إلى جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلكرم ضيفه. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليسكت".[3]3
Pohon sanad
Nabi SAW Laits
↓ ↓
Ibnu Syuraih Al-‘adawi Abdullah bin Yusuf
↓ ↓
Sa’id Al-maqburiyu Imam Bukhori
Kandungan Hadits
Harmalah bin yahya, ibnu Wahhab dia berkata, Yunus, dari Ibnu Syihab,dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hurairah, dari Rosulullahi shallallahu’alahi wasallam, beliau bersada:
"من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه".
Artinya:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik (lebih memmilih untuk) diam saja, barang siapa yang beriaman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.
Keterangan sanad dan perawi
Hadits ini juga diriwaytkan juga oleh Al Bukhori (X/6018), At Turmudzi (IV/2500) dan Abu Dawud (IV/515), dan Ibnu Syihab, Abu Salamah bin ‘Abdurrrahman, dari Abu Hurairah.
"من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه".
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi فلا يؤذ جاره (artinya: barang siapa yang beriaman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya).
Para ulama ahli bahasa, “Dalam bahassa arab biasa disebutkan lafazh shamata-yasmutu shamtan wa shumuutan wa shamaatan, yang memiliki arti diam”. Al Jauhari berkata, “Dalam bahasa arab biasa disebutkan lafazh ashmata yang juga memiliki makna shamata (artinya diam). Kata at tashmit memiliki makna as sukut (artinya diam). Namun kata at tashmit juga memiliki makna at taskiit (atinya: mendiamkan atau menenangkan)”.
Al Qodli ‘Iyadh rohimahullahu ta’ala berkata, “makna hadits tersebut adalah yang termasuk dalam kategori syariat Islam yang hukumnya wajib adalah memuliakan tetangga dan tamu serta memperlakukan mereka dengan baik. Semua perbuatan ini sebenarnya sama dengan mengenali hak-hak tetangga dan anjuran untuk memeliharanya. Sebab Allah ta’ala sendiri telah memberikan wasiat kepada umat Islam didalam AL Quranul ‘Aziz untuk berbuat baik kepada mereka. Rasulullah SAW telah bersabda, “Jibril ‘alahi salam terus memberiku wasiat untuk berbuat baik kepada tetangga sampai-sampai aku mengira kalau dia akan mewariskannya kepadaku.
Memuliakan tamu termasuk etika mulia dalam Islam dan akhlak para Nabi serta para orang-orang shalih. Al Laits telah telah mewajibkan seseorang untuk menjamu tamunya selama semalam. Hadits yang beliau jadikan hujjah adalah sabda Rasulullahi shallallahu’alaihi wassalam, “malam hari (yang dilalui oleh) tamu adalah hak yang wajib di tunaikan oleh setiap orang muslim.” Beliau juga berdasarkan pendapatnya pada hadits riwayat ‘Uqbah berikut ini, “Apabila kalian singgah di sebuah kaum, lantas kalian dijamu sebagaimana layaknya hak tamu, maka terimalah jamuan itu. Namun jika mereka tidak melakukannya, maka ambilah hak tamu yang sewajarnya dari mereka.”
Mayoritas ulama berpendapat bahwa memuliakan tamu merupakan akhlakul karimah. Dalil yang mereka pergunakan adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam, “jamuan (yang dihidangkan kepada) tamu adalah sehari semalam.” Yang dimaksud jaa’izah dalam matan hadits ini adalah hidangan, pemberian dan perlakuan yang hangat dari tuan rumah. Tentu semua itu dilakukan dengan tanpa unsur paksaan (bebas memilih untuk melakukannya, tanpa ada ancaman.”
فليكرم وليحسن Redaksi matan hadits ini sebenarnya memberikan konsekuensi tidak adanya hukum wajib. Sebab kalau memang lafazh itu berkonsekuensi wajib, pasti tidak akan digabungkan dengan anjuran untuk memuliakan dan memperlakukan baik tamu yang bertandang. Dari sini dapat dipahami dengan jelas bahwa konsekuensi hukum syariat yang munculdari lafazh itu bukan hukum wajib. Namun ada juga beberapa ulama yang menakwilkan hadits-hadits itu termasuk kabar berita yang disbutkan pada awal Islam. Sehingga mereka memberikan konsekuensi hukum wajib. Karena substansi hadits itu, yakni memberikan pertolongan kepada sesama memang hukumnya wajib secara syariat.
Para ulama juga berbeda pendapat, apakah hak untuk memberikan jamuan kepada tamu itu berlaku bagi orang yang memiliki tempat tinggal tetap ataukah hanya berlaku khusus bagi orang-orang baduwi (orang yang tinggal nomaden atau berpindah-pindah)? Asy-syafii radliyaallahu ‘anhu dan Muhammad bin Al Hakam berpendapat bahwa memberikan jamuan untuk tamu berlaku baik untuk orang yang tinggal secara menetap maupun orang baduwi.
Bebeda denga Malik dan suhnun yang berkata bahwa memberikan jamuan kepada tamu hanya berlaku untuk orang-orang baduwi. Karena musafir yang melakukan perjalanan didaerah perkotaan maupun pedesaan mudah sekali menjumpai tempat-tempat singgah melepas lelah, separti hotel, penginapan atau yang sejenisnya. Mereka juga dengan mudah untuk membeli bahan makanan di pusat-pusat perekonomian.
Disamping itu memang telah disebutkan dalam keterang hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam, ”memberikan jamuan kepada tamu itu wajib dilaksanakan oleh orang baduwi, bukan bagi orang yang tinggalnya di perkotaan maupun pedesaan.” Akan tetapi hadits ini di anggap maudlu’ (palsu) oleh para ulama yang sangat ahli dalam bidang hadits. Sebab memberikan jamuan kepada tamu harus di lakukan kepada orang yang dirasa membutuhkan. Bahkan juga harus di praktekkan kepada orang kafir dzimmi yang telah mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin. Demikianlah keterangan yang disampaikan oleh Al Qodhi.
فليقل خيرا أو ليصمت Maksud dari kalimat ini hendalah seseorang baru memutuskan untuk berbicara ketika perkataan yang akan dia ucapkan itu benar-benar mengandung kebaikan lagi bisa mendatangkan pahala, baik sifatnya wajib maupun sunah, namun apabila perkataan yang akan dia sampaikan itu tidak mengandung kebaikan dan tidak bisa mendatangkan pahala, maka hendaklah ia lebih memilih untuk menahan perkataannya tersebut, baik apakah dia mengetahui kalau perkataan tersebut hukumnya haram, makruh, atau mubah.
Berdasarkan hadits inilah hendaklah perkataan-perkataan yang sifatnya mubah diperintahkan untuk ditinggalkan. Bahkan disunahkan untuk tidak dilontarkan karena khawatir bisa merambah pada hal-hal yang haram maupun yang makruh. Namun hal ini sudah sangat lumrah dan kerap kali di ucapkan ditengah-tengah masyarakat. Allah ta’ala telah berfirman, “Tiada sutu ucapan pun yang di ucapkanya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” Qs. Qaaf (50):18.
Orang-orang generasi salaf dan para ulama berbeda pendapat, apakah karena keumuman makna ayat tersebut maka semua ucapan terlontar dari mulut seorang hamba sekalipun ucapan itu sifatnya mubah -yakni perkataan yang tidak menyebabkan pengucapanya mendapatkan pahala maupun dosa-akan dicatat oleh malaikat? Ataukah yang akan ditulis hanyalah perkataan-perkataan yang menyebabkan pengucapanya mendapatkan pahala atau dosa? Ternyata Ibnu ‘Abbas ra. Dan beberapa ulama lainnya memilih kalau ucapan yang dicatat hanyalah yang mengandung konsekuensi pahala dan dosa. Dengan demikian ayat Al-Quran di atas perlu di artikan secara khusus. Sehingga cara mengartikannya adalah sebagai berikut, “tiada suatu ucapan pun yang bisa menyebabkan balasan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”[4]
Hubungan Hadits dengan Ayat Al Qur’an
Dari penjelasan hadits di atas, bahwasannya hadits tersebut senada dengan ayat Al Qur’an surat adz-Zariyat ayat 25-30 yang berbnyi:
إِذۡ دَخَلُواْ عَلَيۡهِ فَقَالُواْ سَلَٰمٗاۖ قَالَ سَلَٰمٞ قَوۡمٞ مُّنكَرُونَ ٢٥ فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجۡلٖ سَمِينٖ ٢٦ فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيۡهِمۡ قَالَ أَلَا تَأۡكُلُونَ ٢٧ فَأَوۡجَسَ مِنۡهُمۡ خِيفَةٗۖ قَالُواْ لَا تَخَفۡۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَٰمٍ عَلِيمٖ ٢٨ فَأَقۡبَلَتِ ٱمۡرَأَتُهُۥ فِي صَرَّةٖ فَصَكَّتۡ وَجۡهَهَا وَقَالَتۡ عَجُوزٌ عَقِيمٞ ٢٩ قَالُواْ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡحَكِيمُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٠
25. (ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."
26. Maka Dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.
27. lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan."
28. (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).
Pengertian Secara Umum
Ayat ini sebenarnya adalah ayat untuk menghibur Rasulullah SAW yang sedih, karena keingkaran umatnya tentang hari kebangkitan dan penghimpunan, sehingga Allah bersumpah kepada mereka dengan keagungan-Nya, bahwa kebangkitan dan penghimpunan itu pasti akan terjadi tanpa diragukan lagi. Maka Allah menghibur Nabi SAW dengan ayat ini bahwa ia bukanlah rasul yang pertama dan kaumnya pun bukan kaum yang pertama, bahwa kalau mereka terus-terusan sesat dan tetap kafir dan tak mau berhenti dari kelakuan mereka.[5]
Dari ayat ini pemakalah mengambil poin tentang Ibrahim kedatangan tamu yang belum dikenal, bagaimana perlakuan Ibrahim kepada tamu yang belum dekenalnya? Dia sungguh sangat menghormati tamunya dengan menghidangkan dengan daging sapi, sesuatu yang sangat patut kita teladani sebagai seorang muslim. Akan tetapi, sungguh sesuatu yang sangat berbeda dengan keadaan zaman sekarang, yang serba keliru dan bahkan salah, kita dengan orang yang kita kenal saja masih ada rasa benci atau paling tidak selalu “dzon” apalagi dengan orang yang tidak kita kenal.
Akan tetapi, sebagai muslim tetap harus saling menghormati orang lain, yang mereka sudah kenal atau belum mereka kenal, agar tercipta suasana damai sejahtera atau madani.
Daftar Pustaka
Baqi Muhammad Fuad ‘abdul, al-Lu’lu’ wa al-marjan, Beirut: Dar al-Fikr,1992, jld. 1
Bukhari Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 2001 M/1428 H) jld. 4
Muslim dalam Shahihnnya, Kitab Iman, Bab Berbuat Baik Kepada (Beirut: Dar al-Fikr, 1992 M) jld. 1
Ahmad Mustofa al-Maroghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, Lc dkk (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jld. XXVI
Nawawi Imam, Shahih Muslim, terj.’Imad “Amir dkk (Jakarta Selatan: MUSTAQIM, 1423 H) jld. 1
Fote Note
[1] Muhammad Fuad ‘abdul Baqi, al-Lu’lu’ wa al-marjan, kitab al-Iman, Bab Berbuat Baik Kepada Tetangga (30), jld. 1, hal. 10
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Adab, Bab la tahqironna jaarotun li jarotiha (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 2001 M/1428 H) jld. 4, hal. 63
[3] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnnya, Kitab Iman, Bab Berbuat Baik Kepada Tetangga (Beirut: Dar al-Fikr, 1992 M) jld. 1, hal. 45
[4] Imam Nawawi, Shahih Muslim, terj.’Imad “Amir dkk (Jakarta Selatan: MUSTAQIM, 1423 H) jld. 1, hal, 507-511
[5] Ahmad Mustofa al-Maroghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, Lc dkk (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jld. XXVI, hal. 309
Demikian sedikit ulasan tentang Berbuat Baik Pada Tetangga semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!