Tafsir Hadits Toleransi Beragama
HADIS DAN TERJEMAHNYA
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ.[1]1]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran (mudah))"
Image From toleransiku.blogspot.com
SYARAH HADIS
Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah” di dalam sahihnya secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan sanadnya karena tidak termasuk dalam kategori syarat-syarat hadis sahih menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan.[2] Sementara Syekh Nasiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya adalah hasan lighairih.”[3]
Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.[4]4]
Artinya:“Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika memutuskan perkara”.
Imam al-Bukhari memberikan makna pada kata ‘as-samâhah’ dalam hadis ini dengan kata kemudahan, yaitu pada “Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”. Sementara Ibn Hajar al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata: "Hadis ini menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri sendiri, selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam mengambil hak-hak mereka serta menerima maaf dari mereka.[5]
Islam sejak diturunkan berlandaskan pada asas kemudahan, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ.[6]6]
Artinya :”Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, men-dekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolong-lah dengan al-ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam)".
Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bersikap tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam melakukan ibadah sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari kata : "Dan sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan" artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan mengalahkannya dan menghentikan tindakannya.[7]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada ‘Aisyah ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut memberitahukan kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw. bersabda :
مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
Artinya: "Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah yang dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten".[8]
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang dilaksanakan oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada Rasulullah saw. tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw. memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara syariat karena di dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam, sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada hadis sebelumnya.[9]
Keterangan ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung nilai-nilai toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan keuniversalannya sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman bagi setiap kelompok masyarakat dan umat manusia.
Terdapat banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan kemudahan di antaranya adalah firman Allah swt:
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dia telah memilih kamu. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.[10]
Pada ayat lain Allah berfirman :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.[11]
Selanjutnya, di dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda :
"هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ" قَالَهَا ثَلَاثً
Artinya: "Kehancuran bagi mereka yang melampaui batas" diulangi sebanyak tiga kali”.[12]
Kata "al-Mutanatti'un" adalah orang-orang yang berlebihan dan me-lampaui batas dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Al-Qâdi ‘Iyad mengatakan bahwa, maksud dari kehancuran mereka adalah di akhirat.[13] Hadis ini merupakan peringatan untuk menghindari sifat keras dan berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama.[14]
Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.
Sikap toleransi dalam Islam yang berhubungan dengan akidah sangat jelas yaitu ketika Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengajak para Ahl al-Kitab untuk hanya menyembah dan tidak menye-kutukan Allah swt., sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَةٖ سَوَآءِۢ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡٔٗا وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُولُواْ ٱشۡهَدُواْ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ ٦٤
Artinya: “Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan kita tidak persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".[15]
Pada ayat ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak mempertuhankan manusia tanpa paksaan dan kekerasan sebab dalam dakwah Islam tidak mengenal paksaan untuk beriman sebagaimana Allah swt. berfirman:
لآإِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam beragama”.[16]
Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah saw. Juga mendoakan agar Allah swt. memberikan kepada mereka (kaum musyrik) hidayah untuk beriman kepada-Nya dan kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah kisah qabilah Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan oleh Tufail bin Amr ad-Dausi, kemudian sampai hal ini kepada Rasulullah saw., lalu beliau berdo'a :
"اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ"
Artinya: “Ya Allah, tunjukilah qabilah Daus hidayah dan berikan hal itu kepada mereka”. [17]
Berdasarkan riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir) dalam kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk menerima dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun kepada mereka yang telah sampai dakwah selama beberapa tahun lamanya, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kenginan untuk menerima dakwah Islam dan dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah mendoakan kehancuran atas nama mereka.[18]
Sikap Rasululullah saw yang mendoakan dan mengharapkan orang-orang musyrik supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa Rasulullah saw. diutus membawa misi toleransi, sebagaimana sabda beliau;
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ [19]19]
Artinya: Maka Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa Toleransi adalah sikap memberikan kemudahan, berlapang dada, mendiamkan, dan menghargai. Sesungguhnya, Islam merupakan agama yang menjadikan sikap toleransi sebagai bagian yang terpenting, sikap ini lebih banyak teraplikasi dalam wilayah interaksi sosial sebagaimana yang ditunjukkan dari sikap Rasulullah SAW terhadap non muslim pada zaman beliau masih hidup. Sikap toleransi dalam beragama adalah menghargai keyakinan agama lain dengan tidak bersikap sinkretis yaitu dengan menyamakan keyakinan agama lain dengan keyakinan Islam itu sendiri, menjalankan keyakinan dan ibadah masing-masing. Dan, Sikap toleransi tidak dapat dipahami secara terpisah dari bingkai syariat, sebab jika terjadi, maka akan menimbulkan kesalah pahaman makna yang berakibat tercampurnya antara yang hak dan yang batil. Ajaran toleransi merupakan suatu yang melekat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana terdapat pada iman, islam, dam ihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ainy, Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad. 'Umdat al-Qary, Syarh Shahih al-Bukhari (Jld. XIV). Cet. I. Beirut: Muassasah ar-Risalah. 1421 H / 2001 M.
Al-Albany, Muhammad Nasiruddin. Shahih adab al-Mufrad. Cet. II. Beirut: Dar ash-Shiddiq. 1415 H.
Al-Asqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bary (Jld. 1 dan IV). Cet. I. Madinah al-Munawarah. 1417 H / 1996 M.
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari. Kitab Jihad. Bab Do'a Bagi Orang-orang Musyrik (Jld.II). Beirut: Dar al-Fikr. 1414 H / 1994 M.
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, KitabAl-Iman, Bab Ad-Din Al-Yusru/Agama itu Mudah (Jld. 1). Beirut: Dar al-Fikr. 1414 H / 1994 M.
Al-Ju’fy, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazibah al-Bukhariy. Shahih al-Bukhari (Juz 1). Semarang: Maktabah wa Matba'ah Usaha Keluarga. 1981 M/1401 H.
Al-Syin, Musa Syahin. Fath al-Mun'im Syarh Shahih Muslim (Jld. X). Cet. I. Kairo: Dar al-Syuruq. 1423 H / 2002 M.
An-Nasa’i, Ahmad bin Ali bin Syuaib. Sunan an-Nasai'. Cet. I. Riyad: Maktabah al-Ma'arif. t.t.
An-Nisabury, Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy. al-Musnad al-Sahih (Jld IV), dalam Shafiyurrahman al-Mubarakfury. Cet. I. Riyad: Dar Al-Salam. 1420 H /1999 M.
Hanbal, Imam Ahmad bin Muhamad bin. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal (Juz 2). Beirut: Dar al-Fikr. t.t.
Iyadh, Iyadh bin Musa bin. Ikamal al-Mu'allim bi Fawaid Muslim (Jld. VIII). Cet. I. al-Manshura: Dar al-Wafa. 1419 H / 1998 M.
Fote Note
[1] Hadis riwayat Bukhari dalam Shahihnya, “KitabAl-Iman, Bab Ad-Din Al-Yusru (Agama itu Mudah), (Beirut: Darul Fikri, 1414 H / 1994 M), Jld. 1, hal.17.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bary, (Cet. I; Madinah al-Munawarah, 1417 H / 1996 M), Jld. I, hlm. 94.
[3] Muhammad Nasiruddin al-Albany, Shahih adab al-Mufrad. (Cet. II; Beirut: Dar ash-Shiddiq, 1415 H), hlm. 122.
[4] Sahih al-Bukhari, Bab Buyu': 16, hlm.133.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, Jilid. IV, hlm. 207.
[6] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin Bardazibah al-Bukhariy al-Ju'fiy, Shahih al-Bukhari, Juz 1, (Semarang: Maktabah wa Matba'ah Usaha Keluarga, 1981 M/1401 H), hlm. 15.
[7] Hajar Al-‘Asqalany, Fath al Bary, Jld. I, hlm. 143
[8] Ahmad bin Ali bin Syuaib an-Nasa'i, Sunan an-Nasa', Kitab; Salat Malam, Bab; Pertentangan diantara Aisyah tentang Salat Malam, (Cet. I; Riyad, Maktabah al-Ma'arif, t.t), hlm. 270.
[9] Ibn Hajar Al-‘Asqalany, Fath al Bary, Jilid. I, hlm. 164.
[10] Q.S. al-Hajj/22: 78.
[11] Q.S. al-Baqarah/2: 185.
[12] Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Nisabury, al-Musnad al-Sahih, dalam Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Minnat al-Mun'im Syarh Sahih Muslim, (Cet. I; Riyad: Dar as-Salam, 1420 H /1999 M), Jilid. IV, hlm. 228.
[13] Iyadh bin Musa bin Iyadh, Ikamal al-Mu'allim bi Fawaid Muslim, (Cet. I; al-Manshura: Dar al-Wafa, 1419 H / 1998 M), Jilid VIII, hlm. 164.
[14] Musa Syahin al-Asyin, Fath al-Mun'im Syarh Shahih Muslim, (Cet. I; Kairo: Dar al-Syuruq, 1423 H / 2002 M), Jilid X, hlm. 164.
[15] Q.S Ali Imran/3: 64.
[16] Q.S Al-Baqarah/2 : 256
[17] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab; Jihad, Bab; Do'a Bagi Orang-orang Musyrik, Jld. II, hlm. 341.
[18] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Ainy, 'Umdat al-Qary, Syarh Shahih al-Bukhari, (Cet. I; Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1421 H / 2001 M), Jld. XIV, hlm.291.
[19] Imam Ahmad bin Muhamad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Juz 2, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 266.
Demikian sedikit ulasan tentang Tafsir Hadits Toleransi Beragama semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!