Problem Hukum Iddah Wanita Hamil Di Luar Nikah (Zina) Menurut Islam Dan Hukum Positif
Hukum Iddah Wanita Hamil Di Luar Nikah (Zina) - Hukum merupakan esensi yang disaring dari peradaban suatu bangsa dan sekaligus mencerminkan jiwa suatu bangsa secara lebih jelas dari lembaga lain yang ada.[1]( Kedudukan hukum dalam Islam adalah sebagai inti dan saripati ajaran Islam itu sendiri. Sehingga sangatlah tidak mungkin untuk dapat memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[2])
Hukum Islam[3]) dalam catatan sejarah telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Hal tersebut menunjukkan suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri dan menggambarkan benturan-benturan agama dengan perkembangan sosial budaya dimana hukum itu tumbuh.[4]) Karena pada dasarnya ijtihad dalam hukum Islam merupakan hasil interaksi antara pemikir hukum dengan faktor sosial-budaya dan faktor sosial-politik yang mengitarinya.[5])
Sejarah Islam pada masa modern ini diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang sangat mendasar dan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam pada masa-masa mendatang. Pertama, peristiwa merembesnya ide-ide modern yang berasal dari Barat seperti ide nasionalisme, rasionalisme, demokrasi, emansipasi, sekularisasi, dan lain-lain yang pada akhirnya ide-ide tersebut mengubah struktur kebudayaan Islam klasik pada tingkat sosial kemasyarakatan maupun pada tingkat politik kenegaraan. Kedua, peristiwa runtuhnya tradisi sistem khilafah berganti dengan sistem kekuasaan negara nasional. Ummat Islam yang sebelumnya bersatu dalam kekuasaan imperium Islam dan akhirnya jatuh dalam dominasi kekuasaan kolonialis Barat, setelah merdeka mereka mempunyai kesempatan membangun corak kehidupan masyarakat yang mereka kehendaki. Konsekuensi logis dari berdirinya negara-negara muslim tersebut melahirkan upaya perancangan sistem hukum nasional sesuai aspirasi sosial politik masing-masing.[6])
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu kebutuhan di negara-negara muslim.[7]) Meskipun pada kenyataannya pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada wilayah hukum keluarga, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini. Karena tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring dengan perubahan zaman.
Di Indonesia upaya pembaharuan hukum Islam telah menghasilkan wujud yang konkret. Salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam yang patut dinilai sebagai ijma’ ulama Indonesia.[8]) Namun mencermati gagasan-gagasan yang ada dalam KHI, kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pemanfaatan lembaga talfiq dan takhayyur dalam fomulasi hukumnya. Nilai lebih dari proses penyusunan KHI adalah referensi dari 38 buah kitab dari berbagai mazhab fiqh yang ada, studi banding ke negara-negara muslim Timur Tengah, telaah yurisprudensi dan serangkaian wawancara dengan para ulama Indonesia.[9])
Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 1991. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 mengenai penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.[10]) Meskipun KHI oleh pakar hukum di Indonesia tidak dinyatakan sebagai hukum perundang – undangan yang berlaku di Indonesia namun seluruh jajaran peradilan agama di Indonesia sudah mengakuinya sebagai hukum dan pedoman yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh umat Islam sehingga KHI dapat disebut sebagai undang – undang Islam.[11])
Adapun pendekatan yang digunakan di dalam penyusunan KHI mencakup beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif. Yaitu bahwa perumusan KHI mengambil bahan sumber utama dari nas{s al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, mengutamakan pemecahan problema masa kini. Ketiga, unity dan variety. Dan keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat.[12]) Keempat pendekatan tersebut digunakan di dalam merumuskan KHI yang terdiri dari tiga kitab hukum. Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan.
Dalam pendekatan yang lebih mengutamakan pemecahan problema masa kini dimaksudkan bahwa di dalam perumusan KHI sejauh mungkin dihindari perdebatan di dalam mempersoalkan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi langsung diarahkan kepada masalah yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, kemudian baru dicari dan dipilih pendapat yang paling potensial untuk memecahkan problema ketidaktertiban yang dihadapi selama ini.[13]) Dalam hal ini tampak sekali pemanfaatan lembaga talfiq dan takhayyur dalam formulasi hukum KHI.
Akhir-akhir ini perubahan peradaban manusia semakin akseleratif. Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin banyak kehilangan nilai-nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran. Budaya permisif dan serba terbuka memerangkap manusia hingga berkubang di dunia kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki yang menghamili maupun yang bukan menghamili.
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nass al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena zina tidak dijelaskan secara eksplisit baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sehingga mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut Syafi’iyyah dan Hanafiyyah perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki – laki yang menyebabkan hamil.[14])
Sebagian ulama Hanafiyyah menambahkan bahwa terdapat larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.[15]) Adapun menurut Syafi’iyyah tidak ada larangan untuk menggauli isterinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil.[16])
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.[17])
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.[18]) Konsekuensi dari pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi :
لايحل لإمرئ يؤمن بالله واليوم الآخر ان يسقى ماءه زرع غيره ([19]
لاتوطأ حامل حتى تضع , ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة ([20]
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI sebagai berikut :
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 ayat 2 di atas dapat dipahami bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina jika ia dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah jika perempuan hamil karena zina tersebut menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya. Dalam hal ini KHI belum memberikan penjelasan.
Fote Note
[1]) J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, (New York:New York University Press, 1959), hlm.17
[2]) Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:Oxford University Press, 1964), hlm.1
[3) Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”dari literatur Barat. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.11. Adapun kata syari’ah mencakup arti luas dan sempit. Syari’ah dalam pengertian luas adalah agama itu sendiri sedangkan syari’ah dalam arti sempit berarti fiqh. Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, (t.t p: Dar al-Qalam, 1966), hlm.77. Kata hukum Islam dalam tulisan ini adalah dalam pengertian fiqh.
[4]) Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Suatu Pengantar, cet.II, (Surabaya:Risalah Gusti, 1996), hlm.1
[5]) ‘Atho’ Mudzhar, Social History Approach to Islamic Law, Al-Jami’ah, No.61 (1998), hlm.79
[6]) Ghufron Ajib Mas’adi,Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet.II,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.4
[7]) Menurut Anderson tipologi pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim dapat dibedakan menjadi tiga : 1) negara-negara yang masih menerapkan syari’ah secara utuh, 2) negara-negara yang berusaha mengganti syari’ah dengan hukum Barat, dan 3) negara-negara yang mengkombinasikan hukum Barat dengan syari’ah. J.N.D Anderson, Islamic, hlm.82-83
[8]) Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang:Angkasa Raya, 1990), hlm.138-139
[9]) Epistemologi Syara’ : Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Noer Ahmad dkk,cet.I (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 110. Tentang proses perumusan dan sumber rujukan dapat dilihat Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,cet.IV (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 35-54
[10]) Kekuatan hukum yang berupa Inpres dengan isinya yang menyatakan perintah penyebarluasan bukan perintah pelaksanaan telah menyebabkan implementasi KHI bersifat fakultatif. Dalam arti tidak secara a priori mengikat dan memaksa warga negara Indonesia, khususnya umat Islam. Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara : Kritik Atas Politik Hukum di Indonesia, editor : Nurul Huda, cet.1,(Yogyakarta:LKIS Yogyakarta, 2001),hlm.202-207.
[11]) Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu – isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, cet.I, (Jakarta:Ciputat Press, 2002), hlm.45 – 46
[12]) M.Yahya Harahap, “Materi KHI”, dalam Dadan Muttaqien dkk (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, edisi II (Yogyakarta:UII Press,2000), hlm.82 – 92
[13]) Ibid, hlm.87
[14]) As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet.IV (Beirut : Dar al-Fikr, 1983), II : 282-283
[15]) Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Mesir : Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra,1969), IV : 521.
[16]) Ibid, hlm.523
[17]) Abd ar-Rahman al-Jaziri,Kitab al-Fiqh,IV : 516.
[18]) Ibn Qudamah, al-Mughni, (t.tp : Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyah,t.t), VI : 601-602
[19]) Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, bab fi wat’i as-Sabaya, (t.tp:Dar al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin S|abit al-Ansari.
[20]) Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, bab fi wat’i as-Sabaya, (t.tp:Dar al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor 2157. Hadis riwayat Abi Sa’Id al-Khuzri.
Demikian sedikit ulasan tentang Problem Hukum Iddah Perempuan Hamil Karena Zina semoga bermanfaat, jangan lupa komentar, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan artikel saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!