Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah Wanita Dalam Fikih dan Contohnya
Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah - Menurut bahasa kata ‘iddah berasal dari kata al-‘adad.
Sedangkan kata al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu
yang berarti menghitung. Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang
dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama’ dari kata al-‘adad adalah al-a’dad
begitu pula bentuk jama’ dari kata ‘iddah adalah al-‘idad. Dan dikatakan juga
bahwa seorang perempuan telah ber’iddah karena kematian suaminya atau talak
suami kepadanya.2)
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan ‘iddah dari segi
bahasa adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3)
Sementara al-Jaziri menyatakan bahwa kata ‘iddah mutlak digunakan untuk
menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.4)
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi ‘iddah
yang dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda,
berbagai definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.
Menurut al-Jaziri ‘iddah secara syar’i memiliki makna yang
lebih luas dari pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang
tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga
didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa tersebut
seorang perempuan dilarang untuk menikah
dengan laki-laki lain.5) Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ‘iddah
merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak
boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya.6)
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan definisi ‘iddah
sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau
untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap
suaminya.7) Dalam definisi lain dijelaskan bahwa ‘iddah menurut ‘urf syara’ adalah
nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri apa yang tersisa dari
pengaruh-pengaruh pernikahan.8)
Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa ‘iddah memiliki
tiga makna yaitu makna secara bahasa, secara syar’i dan dalam istilah fuqaha.
Menurut makna bahasa berarti menghitung sedangkan secara syar’i adalah masa
tunggu yang diwajibkan bagi perempuan maupun laki-laki ketika terdapat sebab.
Adapun dalam istilah fuqaha yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan
ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.9)
Dari berbagai definisi ‘iddah yang telah dikemukakan diatas
maka dapat dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang ‘iddah yaitu
masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela
sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan (isteri) dilarang
menikah dengan laki-laki lain.
Kewajiban menjalankan ‘iddah bagi seorang perempuan setelah
kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya dijelaskan secara
eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Diantara nass al-Qur’an yang
menjelaskan tentang ‘iddah antara lain :
والمطلقت يتربصن بانفسهن ثلا ثة قروء
....(10
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر
وعشرا....(11
ياايها الذين امنوا إذا نكحتم المؤمنت ثم طلقتموهن من قبل ان تمسوهن
فمالكم عليهن من عدة تعتدونها ....(12
واللا ئى يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم
فعدتهن ثلاثة اشهر واللائى لم يحضن ج واولات الاحمال اجلهن ان يضعن حملهن ....(13
Sementara itu masalah ‘iddah juga dijelaskan dalam Sunnah
Nabi :
لا يحل لإمرأة تؤمن باالله واليوم الاخر
ان تحد على ميت فوق ثلاث ليال الا على زوج اربعة اشهر وعشرا....(14
اعتدى فى بيت ابن ام مكتوم ....(15
Nass al-Qur’an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum
penetapan ‘iddah. Berdasarkan nass
al-Qur’an dan Sunnah tersebut maka para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa
‘iddah hukumnya wajib. Mereka hanya berbeda dalam masalah tafsil (perincian )
dalam beberapa persoalan saja.
Selama dalam ketentuan ‘iddah yang telah dijelaskan secara
eksplisit oleh nas al-Qur’an maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan
pendapat dikalangan ulama. Tetapi ketika ketentuan ‘iddah tersebut dihadapkan
pada suatu persoalan yang belum ada penjelasannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah seperti
‘iddah bagi perempuan hamil karena zina telah menimbulkan perbedaan pendapat
dikalangan ulama sebagaimana akan dibahas nanti.
Fote Note
2) Ibn Munzir, Lisan al-‘Arab, ( ttp : tnp, t.t),
hlm.702-703.
3) As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II : 277. Ali Hasaballah,al-Furqah
baina az-Zawjaini wa Ma Yata’allaqu biha min ‘iddatin wa nasab,cet, I(t.tp:Dar
al-Fikr al-‘Arabiy,1387H / 1968 M),hlm. 187. Hasaballah memberikan pengertian
‘iddah menurut istilah fuqaha sebagai masa tunggu bagi perempuan (isteri)
setelah terjadi sebab perceraian yang dalam masa itu seorang perempuan dilarang
untuk menikah dan dengan menyelesaikan masa tunggu ini dapat menghapus apa yang
tersisa akibat perkawinan.
4) Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh, IV : 513.
5) Ibid
6) As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,II : 277. Bandingkan As-San’ani,
Subul as-Salam, ( Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t), III : 196.
7) Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, ( Semarang
: Toha Putra, t.t), II : 103.
8) Abu Bakar Ibn Mas’ud
al-Kasani, Bada’i’ Sana’i fi Tartib asy-Syara’i, cet.I. ( Beirut : Dar
al-Fikr, 1996), III : 277. Bandingkan Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah,
(ttp : Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t),
hlm.435. Ahmad Gundur, At-Talaq
fi Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun, cet.I (Mesir : Dar al-Ma’arif,
1967),hlm.291
9) Muhammad Zaid al-Ibyani, Syarh al-Ahkam asy-Syari’ah fi
Ahwal asy-Syakhsiyyah,( Beirut : Maktabah an-Nahdah, t.t), I : 426.
10 ) Al-Baqarah (2) : 228. Menurut ulama Syafi’iyyah lafal
quru’ berarti suci sehingga tenggang waktu ‘iddah relatif lebih pendek jika
dibandingkan dengan pendapat Abu Hanifah yang mengartikan lafal quru’ dengan
haid. As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II : 279-280.
11) Al-Baqarah (2) : 234.
12) Al-Ahzab (33) :49
13) At-Talaq (65) : 4
14) Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, “ Kitab at-Talaq wa Li’an”,
Bab Ma Ja’a fi ‘lddati al-Mutawaffa ‘anha Zaujaha, (Makkah : Maktabah at-Tijariyyah,
t.t), III : 500. Hadis nomor 1196. Hadis diriwayatkan oleh Zainab.
15) Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, “Kitab an-Nikah”, Bab Ma Ja’a
an La Yakhtuba ‘ala Khitbati Akhihi, III : 440. Hadis nomor 1135. Hadis
diriwayatkan oleh Fatimah binti Qais.
Demikian sedikit ulasan tentang Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah Wanita Dalam Fikih semoga bermanfaat, jangan lupa komentar, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan artikel saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!