Artikel Education, General And Islamic

Metodologi Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail

Artikel terkait : Metodologi Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail

Metodologi Pemahaman Hadis - Sebagaimana diuraikan dalam problematika pemahaman hadis sebelumnya, ulama yang konsen dalam bidang kajian hadis berusaha untuk memberikan teknik teknik berinteraksi dengan hadis Nabi SAW. Dalam sub bahasan ini akan dikemukakan beberapa metode yang dilahirkan oleh beberapa tokoh kontemporer yang nantinya dapat digunakan sebagai pisau analisis dari penelitian skripsi ini, di antaranya adalah model metode pemahaman yang disistematisasikan Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail.

Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail
Image From toriyess91.blogspot.com

Yusuf Qardhawi
Menurutnya, hadis Nabi SAW memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam, karenanya umat harus melihatnya melalui metode yang tepat yaitu bingkai Ajaran Islam yang menyeluruh (komprehensip), keseimbangan dan memudahkan.  Karenanya pula dalam, memahami sunnah Nabi melalui hadis hadisnya tersebut harus menghindarkan diri dari upaya pemahaman atau penafsiran yang ekstrim, tanpa dasar atau dengan pengalihan (manipulasi). [1]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seseorang yang hendak memahami hadis haruslah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

Memahami al Sunnah dengan berpedoman pada al Qur’an.[2] 
Untuk memahami al Sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan, maka, salah satu bentuk pentakwilan terhadap hadis haruslah dilakukan dibawah naungan al Qur’an serta dalam lingkup orientasi rabbani yang benar dan adil. Sebagaimana tertuang dalam ayat al-Qur’an:
وتمت كلمة ربك صدقا وعدلا لا مبدل لكلماته وهو السميع العليم

Pada prinsipnya al Sunnah dengan al Qur’an itu tidak pernah bertentangan, bila hal itu terjadi kemungkinan salah di dalam memahami al Sunnah itu sendiri.

Mengumpulkan hadis hadis dalam satu topik [4]
Hendaknya hadis hadis tersebut dikumpulkan dalam satu topik, sehingga seluruh model hadis dapat diperhatikan, sekiranya ada yang mutasyabih dikembalikan pada yang muh}kam, bila ada yang mut}laq dapat dihadapkan dengan yang muqayyad, yang `am dapat ditafsirkan oleh yang khas, sehingga satu sama lain saling melengkapi dan memudahkan pengkaji mengkonstruknya.

Memadukan atau mentarjih antara hadis hadis yang kontradiktif. [5]
Prinsip umum dan yang paling asal bahwa nash nash syari’ah (al Qur’an dengan al Qur’an, al Qur’an dengan hadis, hadis dengan hadis) tidak mengandung kontradiksi, sebab kedua duanya bersumber dari syari’ (pembuat syari’at yaitu Allah Zat Yang Maha Benar)

Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya. [6]
Hal tersebut didasarkan bahwa suatu ungkapan (lebih lebih yang mengandung muatan hukum) sangat dipengaruhi oleh `illah tertentu, sehingga hukum itu ditetapkan karena adanya `illah tersebut, demikian pula tidak ditetapkan ketika hilang `illah¬nya.

Membedakan antara sarana yang berubah ubah dan sasaran yang tetap. [7]
Salah satu kecerobohan umat bila memahami suatu hadis, dengan mencampuradukkan antar sasaran dengan sarana, sebagian melihat kemutlakan sarana mengabaikan sasarannya. Sehingga menampilkan sosok kehidupan Nabi yang tidak lagi relevan dalam konteks kekinian (perkembangan peradaban dengan sarana dan prasarananya yang jauh berbeda dengan masa Nabi)

Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam memahami hadis Nabi. [8] 
Nabi SAW hidup di tengah masyarakat Arab yang sadar akan nilai seni, beliau dikenal menguasai balagah (ilmu retorika), karenanya banyak di antara ungkapan itu yang sarat akan makna makna majaz (kiasan, metafor) disamping ungkapan haqiqi (sebenarnya), karenanya umat dalam memahami hadis juga harus mampu membedakan ungkapan beliau yang sarat akan makna majaz (kiasan)

Membedakan antara hadis yang memuat alam gaib dengan alam yang kasat mata. [9]
Di antara penjelasan Nabi SAW terkait dengan alam gaib sebagai bagian dari keimanan umat Islam., seperti Allah, Malaikat, surga neraka dan sejenisnya. Tentang hal ini diperlukan kearifan memahaminya, khususnya bila hadis itu sahih, maka sekiranya bertentangan dengan kemampuan akal, tidak tergesa diklaim da’if, karena boleh jadi ketidak mampuan akal dalam memahaminya.

Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis. [10]
Ungkapan bahasa suatu masyarakat memiliki cakupan makna tersendiri (makna konotasi) yang mungkin berbeda dengan ungkapan yang sama pada masyarakat yang berbeda, karenanya harus hati hati dalam memahami kata kata konotatif tersebut

Syuhudi Ismail
Menurut Syuhudi Ismail, al Qur’an telah menjelaskan fungsi serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al ‘alamin, juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi SAW, disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada konteks waktu dan wilayah yang terbatas.

Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da`i dan sebagainya, sehingga kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir dari aktualisasi hidupnya. 

Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan lainnya. Hal ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis tersebut. [11] 

Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam dari aktualisasi Nabi yang dikenal kemudian dengan hadis hadis Nabawi merupakan teks-teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat, tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat ketika dipahami secara teks, tetapi ada pula yang kurang tepat kalau tidak dipahami konteksnya. Hal inilah yang melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual. [12] 

Lebih lanjut Syuhudi memetakan bentuk matan Hadis yang menuntut cara pemahaman yang berbeda beda masing-masing bentuk tersebut, di antaranya berbentuk kalimat pendek yang padat makna (Jawami’ al Kalam), bentuk tamsil, bentuk ungkapan simbolik, bentuk dialog, dan ungkapan analogi. [13] 

Peta lainnya adalah memahami hadis berdasarkan peran dan fungsi Muhammad, apakah sebagai Rasulullah, pemimpin negara, pribadi dan sebagainya. [14]  Peta lainnya adalah petunjuk hadis Nabi SAW yang dibubungkan dengan sebab yang mengiringi baik secara langsung tergambar dalam hadis maupun tidak, baik sebab khusus ataupun umum. [15]

Dan terakhir Syuhudi memberikan teknik penyelesaian dalam memahami hadis hadis yang tampak saling bertentangan. [16]  Hadis tersebut dinilai ikhtilaf (dipertentangkan) bila memiliki kualitas yang setara sementara redaksinya bertolak belakang, oleh karena itu penelitian terhadap sanad menjadi penting sebelum diklaim hadis itu ikhtilaf.  

Syuhudi mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam menyelesaiakn hadis hadis yang mukhtalaf tersebut, antara lain: [17]  
  1. al Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat)
  2. al-Jam’u a1 Taufiq atau al Talfiq,  yakni kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromiskan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya)
  3. al Nasikh wa al Mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai “yang dihapus”) 
  4. al Tauqif (“menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada yang mendahulukan al-Jam’u, ada yang mendahulukan al Tarjih, ada pula yang mendahulukan al Nasikh wa al Mansukh di atas cara yang lainnya. 

Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada dasarnya dalam hadis hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun ada perbedaan redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi karena tidak memahami konteks masing masing, atau sejarah atau kapan hadis itu muncul. 

Fote Note 
  1. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, terj. Muhammad al Baqir, (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 17-21
  2. Ibid., hlm. 22-26 
  3. Ibid., hlm. 92-93 
  4. Ibid., hlm. 106 
  5. Ibid., hlm. 117-118 
  6. Ibid., hlm. 131  
  7. Ibid., hlm. 147-148
  8. Ibid., hIm. 167 
  9. Ibid., hlm. 188-191 
  10. Ibid., hlm. 195-197
  11. Syuhudi Ismail, hadis Nabi.., op.cit., hlm. 3-5 
  12. Ibid., hIm. 6-7
  13. Ibid., hlm. 9 
  14. Ibid., hlm. 33-34 
  15. Ibid., hlm. 49
  16. Ibid., hIm. 71 
  17. Ibid., hlm. 73
Demikian sedikit ulasan tentang Metodologi Pemahaman Hadits Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar. 

Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz