Doktrin Mahabbah
Doktrin mahabbah
diperkenalkan oleh sufi perempuan yaitu, Rabiah al-Adawiyah. Beliau adalah
zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak.Ia hidup antara tahun
713-801 H.Tuhan baginya dzat yang dicintai hingga meluaplah dalam hatinya rasa
cinta yang mendalam kepada-Nya.
Selain Rabiah
al-adawiayah ada beberapa tokoh sufi yang menerangkan tentang mahabbah dan
diantaranya adalah Al-Qushairi,beliau memberikan lebih dari 80 definisi.Ia
tidak memberikan definisi secara pasti atau jelas. Ia mengatakan Mahabbah
adalah kondisi keadaan jiwa yang mulia(halal asy-syarifah). Sementara Ath-Thusi
membagi Mahabbah menjadi 3 tingkatan. Pertama, Mahabbah al-ammah,yaitu Mahabbah
yang timbul dari belas kasih dan kebaikan Allah kepada hambanya. Kedua, hub
ash-shadiqin wa al-muttaqiqin,yaitu Mahabbah yang timbul dari pandangan hati
sanubari terhadap kebesaran,keagungan,kemahakuasaan,ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga Mahabbah as-shiddiqin wa al
arifin, yaitu Mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat mereka
terhadap qadimnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Demikian pula mereka
mencintai Tuhan tanpa ‘illat.[1]
Dilihat dari
segi tingkatannya,mahabbah dikemukakan al-shirraj,dikutip dari Harun
Nasution,ada 3 macam yaitu Mahabbah orang biasa,Mahabbah orang shiddiq dan
Mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu
mengingat Allah dengan zikir, menyebut nama-nama Allah dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Selanjutnya Mahabbah orang shiddiq
adalah cinta yang kenal pada Tuhan,pada kebesaran-Nya,pada kekuasaan-Nya,pada
ilmunya dan lain-lain. Sedangkan cinta orang yang arif adalah cinta yang tahu
berul pada Tuhan.
Ketiga tingkat
Mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai,yaitu mulai dari
mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir,dilanjutkan dengan
leburnya diri(fana) pada sifat-sifat Tuhan itu,dan tampaknya cinta yang
terakhirlah yang ingin dituju oleh Mahabbah.[2]