Kehujjahan Qiyas (Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil Hukum)
Mengenai kehujjahan qiyas, beberapa ulama’ berbeda pendapat mengenai hal ini.
Jumhur ulama’ ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan hujjah.[1]
Kehujjahan qiyas disini menduduki urutan yang ke empat setelah al-qur’an, hadits,
dan ijma’. Yang pada intinya qiyas digunakan sebagai hujjah (dalil hukum)
ketika tidak ditemukan hukum tentang suatu peritiwa dari ketiga sumber hukum
(al-qur’an, hadits, dan ijma’), sedangkan peristiwa tu memiliki ‘illat yang
sama dengan kasus yang telah ditetapkan dalam al-qur’an , hadits dan ijma’.[2] Untuk
memperkuat pendapat mereka, jumhur ulama’ mengemukakan sejumlah alasan, baik
bersumber dari naqli maupun aqli,[3] yaitu
diantaranya
1.
Banyak ayat alqur’an yang dapat dijadikan sebagai dasar perintah
melakukan qiyas.
2.
Banyak hadits yang mengisyaratkan untuk melakukan qiyas dalam menetapkan
hukum yang tidak ditemukan dasarnya secara langsung dalam al-qur’an dan sunnah.
3.
Perbuatan para sahabat nabi yang banyak menggunakan qiyas untuk
menetapkan berbagai peristiwa hukum yang tidak ada nashnya.
4.
Secara logika bahwa allah mensyari’atkan hukum untuk kemashlahatan
manusia dan hal ini merupakan tujuan utama syari’at islam.
Namun demikian
ada sebagian ulama, terutama dari kalangan dzahiriyah, pengikut al-nadzam dan
sebagian kalangan syiah memandang qiyas bukan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.[4] Sementara
kalangan yang menolak qiyas juga mengemukakan beberapa alasan untuk memperkuat
pendapat mereka, [5]yaitu
1.
Bahwa qiyas dibangan atas dasar dzanni atau praduga semata.
2.
Qiyas ditetapkan dengan perbedaan pandangan para mujtahid dalam
menentukan ‘illat hukumnya.