Rukun Qiyas
Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu
ashl (wadah hokum ynag ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang
akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang dapat terlihat oleh mujtahid
pada ashl, dan hokum al ashl (hokum yang telah ditentukan oleh nash atau
ijma’).[1]
1.
Ashl
Menurut para ahli ushul fiqh, ashl merupakan
objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat al-qur’an, hadits Rosulullah Saw.,
atau ijma’.[2] Selain
itu, ashl juga diartikan sebagai masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam
al-qur’an ataupun sunnah. Ashl disebut pula dengan maqis ‘alaih (tempat
mengqiyaskan) dan mahal al hukm al musyabbah bih, yaitu wadah yang padanya
terdapat hokum untuk disamakan dengan wadah yang lain. Disamping itu ada yang
menyebutnya dengan dalil al hukm (sesuatu yang member petunjuk tentang adanya
hukum). Bahkan ada yang pendapat yang menggunakan istilah hukm al mahal sebagai
pengganti dari maqis ‘alaih.[3]
Para ahli ushul fiqh menetapkan ashl harus
memenuhi sejumlah syarat sebagai berikut:
a.
Hokum ashl adalah hokum yang telah tetap dan tidak
mengandung kemungkinan dibatalkan.
b.
Hokum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c.
Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya.
d.
Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum.
e.
Ashl itu berubah setelah dilakukan qiyas.
2.
Hokum Ashl
Hokum ashl adalah hokum syara’ yang ditentukan
oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u.[5]
adapun untuk syarat-syarat dari hokum ashl adalah sebagai berikut:
a.
Tidak bersifat khusus
b.
Tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas.
c.
Tidak ada nash yang menjelaskan hokum far’u yang
akan ditentukan hukumnya.
d.
Hokum ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari pada
furu’.[6]
3.
Far’u
Yaitu objek yang akan ditentukan hukumnya,
yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya.[7]
Adapun untuk syarat-syarat dari far’u adalah sebagai berikut:
a.
‘Illatnya sama dengan ‘illat yang ada pada ashl,
baik pada dzatnya maupun pada jenisnya.
b.
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c.
Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl.
4.
‘Illat
Secara bahasa, ‘illat berarti sesuatu yang bisa
merubah keadaan.[9]
Sedangkan menurut istilah, ‘illat diartikan oleh menurut beberapa pendapat diantaranya yaitu:
a.
Mayoritas ulama’ Hanafiyyah, sebagian ulama Hanabilah,
dan Imam Baidhowi mengartikan ‘llat sebagai suatu sifat yang berfungsi sebagai
pengenal bagi suatu hukum.[10]
b.
Imam Al Ghozali, mengartikan ‘illat sebagai sifat
yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan atas perbuatan
syari’.[11]
c.
Syaifuddin Al Amidi mengartikan ‘illat sebagai
motivasi terhadap hukum yang mana ‘illat itu mengandung hikmah yang layak
menjadi tujuan syari’ dalam menetapkan suatu hukum.[12]
d.
Abdul wahhab kholaf engartikan ‘illat sebagai suatu
sifat pada ashl yang menjadi landasan adanya hukum.[13]
e.
Ahmad al mahalli mengartikan illat sebagai suatu
sifat yang sama-sama dimiliki oleh dua perkara, yang menetapkan kesamaan hukum
diantara keduanya.[14]
a.
Dari segi cara mendapatkannya, ‘illat dibagi
menjadi dua macam, yaitu
2) ‘Illat
Mustanbathoh, yaitu illat yang digali mujtahid dari nash dngan menggunakan
kaidah tertentudan sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam bahasa arab.[17]
1)
‘Illat Al Muta’adiyyah, yaitu ‘illat yang
ditetapkan suatu nash dan bisa diterapkanpad kasus hukum lainnya.
2)
‘Illat Al Qashiroh, yaitu ‘illat yang terbatas
pada suatu nash saja; tidak terdapat dalam kasus lain, baik ‘illat itu manshushoh
maupun mustanbathoh.
Adapun untuk syarat-syarat ‘illat
adalah sebagai berikut:
a.
‘illat harus mengandung motivasi hukum
b.
‘illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
c.
‘illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indra
manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum.[19]
Illat harus sesuai dengan tujuan pembentukan suatu
hukum.[20]