Pemikiran Sayyid Ahmad Khan Dalam Teologi
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan
pemikiran dengan Muhammad abduh di mesir, setelah Abbduh berpisah dengan Jamaluddin
Al Afghoni dan kembali kembbali dari pengasingan. Keyakinan kekuatan dan
kebebasan akal menjadikan khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan
kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia memmpunyai faham yang
sama dengan faham Qodariyah. Menurutnya, manusia telah dianugrahi tuhan
berbagai macam daya berpikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan
kehendaknya.karena kuatnya kkepercayaan terhadap hokum alam dankerasnya
mempertahankan konsep hokum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat islam.
Bahkan, ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al Afghoni menerima
kkeluhan itu. Sebagai tanggapan tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah
buku yang berjudul Ar Radd Ad-Dahriyah (jawaban bagi kaum materialis).[1]
Sejalan dengan faham Qodariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Khan
berpendapat bahwa umat islam india
mundurmkarena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban islam
klasik masih menelan mereka sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah
timbul di barat. Peradaban baru ini timbul berdasar pada ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan ilnilah penyebab utama kemajuan dan kekuatan orang
barat.selanjutnya, khan mengemukakan bahwa tuhan telah menentukan tabiat atau nature
(sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah.
Menurutnya, islam adalah agama yang paling sesuai dengan hokum alam , karena
hokum alam adalah ciptaan tuhan dan al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah
tentu keduanya seiring ssejalan dan tidak ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan
hokum alam, Khan tidak mau pikirannya terganggu otoritas hadis dan fiqh. Segala
seesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang
bertenntangan dengan logika dan hokum alam. Ia hanya mau mengambil al-Qur’an
sebagai pedoman bagi islam. Sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan
kurang begitu penting. Alansan penolakannya terhadap hadits adalah karena
hadits berisi moralitas social dari masyarakat islam pada abad pertama atau
kedua sewaktu hadits tersebut dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqh menurutnya,
berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya madzab-madzab. Ia
menolak taklid dan membawa al-qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan
masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap
taklid, khan memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.[2]