Peranan Guru Dalam Membangun Motivasi Belajar dan Ketekunan siswa
Peranan Guru Dalam Membangun Motivasi Belajar dan Ketekunan siswa - Dalam membangun motivasi belajar memerlukan konstruksi yang sangat baik dari guru sebagai fasilitator dan orang tua yang penanggung jawab siswa selama berada di lingkungan sekolah, di sanalah guru diberi waktu dan kesempatan untuk membangun kecerdasan emosional anak yang berkenaan dengan motivasi belajar dan ketekunan siswa.
Image From persisalamin.sch.id
Penyebab Rendahnya Motivasi Belajar
Rendahnya motivasi belajar siswa diwujudkan dalam keengganan mengerjakan tugas yang diberikan guru tidak berkonsentrasi dan selalu terlambat dalam mengerjakan tugas. Akibatnya, siswa yang bersangkutan memperoleh prestasi belajar yang rendah.
Dasar motivasi pada diri anak menurut Saphiro sebenarnya adalah keinginannya untuk menguasai lingkungan yang diwarisinya secara genetis. Sejak kehadirannya di muka bumi, anak terlahir dengan keinginan untuk menguasai lingkungan sekitarnya dengan berguling-guling, duduk, berdiri, berjalan-jalan, dan berbicara. Tetapi ketika menginjak usia 7 samapi 8 tahun, pada saat memasuki sekolah dasar, mereka merasakan pekerjaan sekolah sebagai beban tersendiri. Akibatnya, mereka kehilangan semangat untuk belajar dan menemukan sesuatu.[1]
Menurut Martin Covington, sebagaimana dikutip Saphiro, bahwa anak yamg tidak termotivasi cenderung mengharap keberhasilan yang seadanya dan mereka hanya menetapkan sasarannya di tingkat yang rendah pula. Motivasi diri juga mempengaruhi percaya diri anak. Apabila motivasi diri anak rendah, maka kepercayaan diri mereka juga rendah. Sebaliknya, jika motivasi diri anak tinggi, ia akan memiliki kepercayan diri yang tinggi dan mudah dalam menghadapi rintangan. [2]
Sementara data dari lapangan, penyebab dari rendahnya motivasi siswa dalam belajar adalah:
Suasana emosional yanag diciptakan guru
Kebosanan menyebabkan motivasi belajar siswa yang menurun drastis. Menurut Elizabeth B. Hurlock, minat anak terhadap sekolah cenderung menurun seiring pertambahan usia dan digantikan dengan rasa bosan dan ketidaksukaan. Salah satu faktor yang memicu hal ini adalah suasana emosional yang diciptakan guru di dalam kelas.
Dari data di lapangan, terlihat bahwa pola pengajaran yang diterapkan guru cenderung monoton. Setiap harinya siswa hanya menjalankan aktivitas pembelajaran yang rutin dan nyaris tanpa inovasi.
Setelah kegiatan belajar-mengajar dibuka dengan doa. Biasanya siswa diminta membaca dan memperhatikan penjelasan guru dan setelah itu siswa diminta mengerjakan latihan baik yang terdapat didalam buku pelajaran maupun di papan tulis. Akhirnya, setelah tugas tersebut selesai dikerjakan siswa, mereka diminta untuk mengoreksi dan menyebutkan nilai yang mereka peroleh. Hal ini berlangsung dari satu pelajaran ke pelajaran berikutnya, sehingga membuat siswa mudah mengalami kejenuhan.
Kurikulum yang terlalu berat
Kurikulun yang terlalu berat, menurut Mary Ann Flynn, sebagaimana dikutip Sinta Ratnawati, ditandai kecenderunag untuk lebih menekankan cakupan materi daripada pemahaman, mengorbankan kualitas kerja demi kuantitas materi, dan pengajaranyna lebih menekankan pada hafalan daripada kemampuan berfikir dan inovatif.
Dari ciri-ciri diatas, kurikukum yang diterapkan guru juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya motivasi belajar siswa. Setiap hari siswa harus menyekesaikan pokok-pokok bahasan yang sudah ditargetkan guru, yang belum tentu mereka kuasai sepenuhnya. Selanjutnya disetiap akhir pelajaran, guru selalu memberikan Pekerjaan rumah kepada siswa. Kondisi ini menyebabkan siswa yang semula bergairah dalam belajar, dapat turun semangatnya karena terbebani tugas yang menumpuk.
Dalam konteks ini, seharusnya guru tidak semata-mata memprioritaskan pada kurikulum yang ditargetkan, tetapi perlu memperhatikan minat, kebutuhan, perbedaan serta tingkat pengusaan siswa terhadap pelajaran.
Cara Memotivasi dan Melatih Ketekunan siswa
Untuk memotivasi siswa, ada beberapa langkah yang telah dilakukan guru, yaitu:
Meminta siswa saling mengoreksi dan menyebutkan nilai yang diperoleh
Cara ini memang dapat memotivasi siswa agar berprestasi. Akan tetapi, bagi siswa yang tingkat intelegensinya rendah atau yang mempunyai kepercayaan dirinya yang rendah, cara ini justru membuat mereka malu dan merasa frustasi. Apabila hal tersebut berlangsung terus-menerus, perasan tersebut akan berkembang menjadi rendah diri yang akan merusak konsep dirinya
Secara neurologis, emosi-emosi ekstrim yang ditimbulkan rasa malu akan mengambil jalan pintas dengan langsung menuju amigdala dan menghindari jalur normal ketika menuju neokorteks, tempat pencatatan informasi dan tempat penyimpanan ingatan dalam otak. Akibatnya emosi ekstrem tersebut akan menimbulkan efek langsung yang berpengaruh dalam diri anak. [3]
Oleh karena itu, guru perlu berhati-hati dalam menerapkan cara ini. Ia perlu mempertimbangkan cara mana yang disukai dan menghasilkan prestasai tinggi bagi siswa, serta pelajaran mana yang kurang disukai dan menghasilkan prestasi rendah bagi siswa. Terhadap pelajaran pertama, cara ini pantas dilakukan guru. Namun jika cara ini gagal, sebaiknya guru menerapkan cara lain yang dapat membantu motivasi diri siswa., misalnya dengan memberikan hadiah.
Memuji dan memberi tepuk tangan
Dalam memotivasi siswa, sebenarnya guru sudah melakukan cara ini, tetapi pujian tersebut cendrung bersifat umum dan tidak mengarah pada perilaku yang pantas dipuji. Misalnya dengan mengatakan, "Pintar”, “bagus”, dan sebagainya.
Menurut Haim Ginott, sebagaimaan dikutip Schaefer, pujian yang baik adalah pujian yang secara spesifik mengarah pada satu tingkah laku, bersifat deskriptif, dan tidak melebih-lebihkan. [4] Misalnya dengan mengatakan, “Tulisanmu rapi, tanpa coretan dan seluruh tandanya benar-benar kamu perhatikan”, dengan cara ini, selain siswa termotivasi ia juga mengerti tindakannya yang pantas dipuji guru.
Namun sebagai pedoman yang terpenting ialah bahwa pujian yang diberikan kepada anak hanya menyangkut kepada usaha anak untuk melakukan sesuatu. Pujian diberikan hanya menyangkut hasil-hasil yang dicapai anak dan bukan menyangkut pada watak dan kepribadian anak.
Selain pada dua cara tersebut di atas yang mengarah pada cara guru memotivasi siswa dalam belajar, ada satu cara lagi yang terpenting bagi siswa untuk lebih bersemangat dalam belajar dan berperilaku yang lebih baik. Cara ini dipandang guru efektif dalam menangani siswa dalam kesulitannya yaitu dengan cara melakukan pendekatan sacara perorangan atau individu atau juga dinamakan dengan pendampingan. Pendampingan ini diberikan pada siswa yang bermasalah maupun yang tidak; artinya siswa yang dalam batas-batas yang normal.
Beban bathin yang dirasakan anak di sekolah berbagai macam bentuknya, dimulai dari beban yang dibawanya dari rumah, seperti merasa cemburu karena dinomorduakan oleh kehadiran sang adik dan juga sampai pada beban bathin yang mereka dapati di sekolah, seperti dicemoohkan oleh temannya, dan sebagainya. Beban bathin ini dapat dikatakan sebagai stress anak di sekolah, sebagai contohnya juga pekerjaan rumah yang diberikan guru dalam jumlah yang berlipat-lipat. Hal yang demikian yang menyebabkan anak tidak dapat berkonsentarsi dalam belajar, yang pada gilirannya anak berputus asa dan menunjukkan ketidaksangupannya dalam mengerjakan soal-soal latihan ataupun pekerjaan rumah.
Guru sebagai orang tua di sekolah, melihat siswanya yang demikian, berusaha untuk membantu siswa melalui proses pendampingan dengan duduk bersama siswa yang bersangkutan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam keadaan yang tenang dan tidak dalam suasana belajar yang formal, yang membuat siswa tegang dan cemas. Membantu masalah di sini dengan maksud hanya mendorong dan membantu anak mencari jalan bagi pemecahan kesulitan.
Membantu siswa memecahkan masalah ini menurut M. Thalib, adalah merupakan upaya guru dalam membiasakan anak memecahkan kesulitannya sendiri dan sekaligus melatih anak bertangungjawab.[5]
Sebagaimana dalam ayat Al-Quran yang membei petunjuk kepada manusia untuk mencari kesulitan masalahnya dengan tidak berputus asa. Allaah berfirman dalam Quran surat Yusuf ayat 87:
يا بني اذهبوا فتحسسوا من يوسف واخيه ولا تيئسوا من روح الله إنه لاييئس من روح الله إلاالقوم الكفرين
“Hai anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” [6]
Langkah dengan pendampingan tersebut merupakan satu langkah yang kreatif yang diciptakan guru dalam memahami perasaan siswa dalam belajar, sehingga di sini dapat dikatakan dalam belajar tidak ada pengesampingan emosinal peserta didik. Belajar dapat dikatakan berhasil, bila terciptanya keseimbangan antara perasaan dan fikiran.
Namun alangkah baiknya bila guru menciptakan suasana dan gaya belajar yang sesuai dengan keinginan dan minat siswa; seperti yang dikatakan oleh Bobby De Porter, bahwa untuk melatih ketrampilan berprestasi siswa guru dapat mengajar sesuatu yang disenangi anak misalnya menemukan gaya belajar yang tepat, kiat-kiat menulis dengan penuh percaya diri dn sebagainya. [7] Demikian pula, perlunya guru untuk menanamkan sikap“Ketekunan dan Usaha” pada siswa yaitu dengan menghargai nilai ketekunan siswa dan memanfaatkan hobinya.
Sebagai implikasi adalah sikap mengantisipasi keberhasilan pada anak juga harus ditanamkan bagaimana menghadapi dan mengatasi kegagalan. Ajarkan kepada mereka bahwa keberhasilan seiring dibangun diatas kegagalan, dan membantu mereka merasakan ganjaran dari suatu keberhasilan atas kerjasama yang tidak mungkin dicapai oleh satu orang saja.
Fote Note
- Lawrence Saphiro, Mengajarkan Emosional Intellegence Pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 227
- Ibid, hlm. 230
- Lawrence E. Saphiro, Op. Cit, hlm. 75
- Charles Schaefer, Cara Mendidik dan Mendisiplinkan anak, (Jakarta: Mitra Utama, 1990), hlm. 38-39
- M Thalib, 50 Pedoman Mendidik Anak menjadi Shaleh, (Bandung: Irsyad Baitussalam, 1990), hlm. 1999
- Departemen Agama, Op. Cit, hlm323
- Bobby De porter & Mike Hernacki, Quantum Learning-Membiasakan Hidup Nyaman dan Menyenangkan, (terjemah: Alawiyah Abdurrahman), (Bandung: Kaifa, 1999), hlm. 109
Demikian ulasan artikel tentang kecerdasan emosional anak yang berjudul Peranan Guru Dalam Membangun Motivasi Belajar dan Ketekunan siswa semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya sampai jumpa pada artikel-artikel selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!