Makna dan Konsekuensi Kategori Kafir dalam Ajaran Islam
Definisi Kufur
Kufur artinya dalam bahasa Arab berarti menutupi. Misalnya, makna kufur dalam ayat berikut:Artinya :” Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (Q. S. Al-Fath : 29)
Kata "kufur" berasal dari bahasa Arab "kuffar" yang dalam ayat ini mengacu pada para petani yang menutupi biji-bijian dengan tanah. Namun, dalam terminologi Syariat, kufur merujuk pada tindakan mengingkari suatu bagian dari ajaran Islam. Hal ini mengakibatkan keislaman seseorang menjadi batal atau tidak sempurna. Sebagai contoh, jika seseorang mengingkari makna syahadat, mengingkari bagian vital dari ajaran Islam seperti riba atau sholat yang diwajibkan, atau mengingkari salah satu hukum pidana Islam seperti hukuman bagi pencuri, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut melakukan kufur.
Perbuatan kufur merupakan tindakan yang sangat dilarang dalam Islam. Sebagai agama yang menganut prinsip tauhid atau keesaan Allah, maka setiap tindakan yang bertentangan dengan prinsip tersebut dapat dianggap sebagai tindakan kufur. Oleh karena itu, dalam Islam, tindakan kufur dianggap sebagai suatu dosa besar dan dapat mengakibatkan seseorang keluar dari agama Islam.
Namun, untuk menilai suatu tindakan atau ucapan sebagai kufur, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Tidak semua tindakan atau ucapan yang bertentangan dengan ajaran Islam dapat dikategorikan sebagai kufur. Ada beberapa unsur yang harus dipertimbangkan, seperti keikhlasan seseorang dalam beribadah dan keyakinannya terhadap ajaran Islam secara keseluruhan. Selain itu, sebelum menuduh seseorang melakukan kufur, ada baiknya untuk melakukan konsultasi dengan para ulama atau ahli hukum Islam yang terpercaya.
Sikap Golongan Orang yang Mempunyai Sifat Kufur (Kafir)
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.”(Q. S. Al-Baqarah : 6)(Sesungguhnya orang-orang Kafir) seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan selainnya (sama saja bagi mereka, apakah kamu beri peringatan) dibaca: a-andzartahum yakni dengan dua buah hamzah secara tegas. Dapat pula hamzah yang kedua dilebur menjadi alif sehingga tinggal satu hamzah saja yang dibaca panjang, (atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman). Hal itu telah diketahui oleh Allah, maka janganlah kamu berharap mereka akan beriman! “Indzar” atau peringatan artinya pemberitahuan disertai ancaman.[2]
Artinya: “Allah telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan, bagi mereka siksa yang amat berat.” (Q.S. Al-Baqarah : 7)
(Allah mengunci mata hati mereka) maksudnya menutup rapat hati mereka, sehingga tak dapat dimasuki oleh kebaikan, (begitupun pendengaran mereka) maksudnya alat-alat atau sumber-sumber pendengaran mereka dikunci, sehingga mereka tidak memperoleh manfaat dari kebenaran yang mereka terima, (sedangkan penglihatan mereka ditutup) dengan penutup yang menutupinya sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran, (dan bagi mereka siksa yang besar) yang berat lagi tetap. Terhadap orang-orang munafik diturunkan.[3]
Dalam firman Allah SWT di atas (Q. S. Al-Baqarah ayat 6 dan 7), Allah SWT menjelaskan sikap golongan orang-orang yang sesat tidak peduli terhadap peringatan dan berita gembira. Nasihat dan peringatan sama sekali tidak dapat menembus hati mereka. Perilaku mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang lurus, yakni dari kebearan. Maka diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, sama saja bagi mereka. Tidak manfaat bagi mereka ahaya dan sinar, sekalipun memancar dengan kuatnya, karena kedua matanya telah tertutup, kebodohan telah merusak hati nuraninya, sehingga tidak dapat membedakan antara cahaya dan kegelapan, dan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya.[4]
Dalam suatu riwayat, bahwa Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 6 dan 7 tersebut, menceritakan tentang kaum kafirin yang menegaskan bahwa hati, pendengaran, dan penglihatan mereka tertutup, diperingatkan atau tidak diperingatkan, mereka tetap tidak akan beriman. Namun dalam riwayat lain ayat tersebut turun berkenaan dengan kaum Yahudi Madinah yang mejelaskan bahwa mereka itu walaupun diperingatkan, tetap tidak akan beriman.[5]
Sunnah Allah SWT telah berlaku bagi orang-orang kafir, Allah SWT mengunci hati mereka hingga tidak ada persiapan bagi mereka ecuali kufur, Allah mengunci dan menutupi pemglihatan mereka, sehingga tidak dsapat melihat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam raya ini, dan tidak dapat melihat bahaya yang mengancam meeka, seakan-akan mereka tidak dapat melihat sesuatupun, maka Allah SWT menetapkan azab bagi dihari akhir nanti.[6] Sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya:
Artinya: “Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (Q. S. Al-Baqarah: 114)
(mereka di dunia mendapat kehinaan) atau kenistaan disebabkan terbunuh, ditawan, membayar upeti. (dan di akhirat mereka mendapat siksa yang besar) neraka. [7]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat di atas, sehubungan dengan larangan kaun Quraisy kepada Nabi SAW untuk sholat dekat ka’bah, di dalam Masjidil Haram. Dan, dalam riwayat lain turunnya ayat tersebut berkenaan tentang kaum Musyrikin yang menghalangi Rasulullah SAW dan para sahabatnya dating ke Mekah untuk mengerjakan umrah pada hari Hudabiyyah (tahun 628 M.). Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang yang melarang beribadat di Masjid Allah SWT.[8]
[1] Ibrahim bin Muhammad, Pengantar Studi Aqidah Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 277-278.
[2] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemahan Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hal. 5.
[3] Ibid, hal. 6
[4] Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir Al-Hidayah Ayat-ayat Aqidah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), Jld. 1, hal. 44.
[5] A. Dahlan dan Q. Shaleh, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis, Turunnya ayat-ayat Al-Quran, (Bandung: Diponegoro, 2000), hal. 13.
[6] Sa’ad Abdul Wahid, Jld. 1, hal. 44.
[7] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, hal. 60.
[8] A. Dahlan dan Q. Shaleh, hal. 33.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!