Artikel Education, General And Islamic

Keterampilan Guru Melatih Kedisiplinan Siswa

Artikel terkait : Keterampilan Guru Melatih Kedisiplinan Siswa

Keterampilan Melatih Kedisiplinan - Pada artikel kali ini saya akan membahas keterampilan guru dalam melatih kedisiplinan siswa yang masih berkaitan erat dengan artikel-artikel sebelumnya tentang kecerdasan emosi anak, masalah ini sangatlah komplek menyangkut berbagai masalah mulai dari sebab-akibat dan hasil yang di peroleh dari hasil implementasi serta proses pengembangan kecerdasan emosional anak.

Image From ma-darulhudamayak.blogspot.com

Penyebab ketidakdisiplinan siswa
Menurut guru, penyebab ketidakdisiplinan siswa yang diwujudkan dalam bentuk keramain di dalam kelas, suka bermain-main dan sebagainya, disebabkan karena siswa masih terbawa suasana di taman kanak-kanak, pandangan ini bisa dibenarkan karena umumnya di taman kanak-kanak, guru masih sangat toleran terhadp perilaku-perilaku siswa yang menunjukkan kenakalan, seperti berteriak-teriak, berlari-lari dan bermain-main bersama teman-temannya, dan menganggap hal tersebut wajar dalam perkembangan pribadi mereka.

Menurut Jan Prasetyo, sebagimana dikutip Sinta Ratnawati, pendekatan guru yang demikian berangkat dari hakekat play group dan taman kanak-kanak itu sendiri yang sebenarnya untuk mempersiapkan kematangan afeksi-sosial anak dalam mengahadapi kehidupan di luar lingkungan keluarga.[1]

Kalaupun ada praktek pengajaran yang dilakukan guru menyangkut penguasaan materi secara kognitif, hal tersebut hanya menyentuh kemampuan tingkat dasar. Siswa hanya diajarkan mengeja huruf, membaca kata-kata atau kalimat pendek, menuliskan huruf atau angka, mewarnai, menggambar dan melakukan penjumlahan sederhana. Tetapi ketika mereka memasuki jenjang pendidikan dasar, suasana yang mereka jumpai bertolak belakang dengan suasana jenjang sebelumnya. 

Demikian juga di sekolah dasar mereka harus mentaati peraturan sekolah yang diterapkan secara ketat dan harus mengerjakan pekerjaaan rumah (PR), yang bagi kebanyakan siswa merupakan beban tersendiri. Apabila kenyataan ini diikuti dengan pengelolaan kelas guru banyak menerapkan hukuman, ancaman dan kritik yang berlebihan, maka minat siswa terhadap aktivitas belajarnya bisa pudar sama sekali.

Menghadapi masalah ini seharusnya guru tidak menyimpulkan bahwa siswa yang masih suka bermain-main dan tidak disiplin otomatis nakal. Kesukaan siswa untuk bermain-main belum tentu berkemampuan rendah, sebaliknya kemungkinan menyimpan potensi yang sangat besar namun tidak teraktualisasikan secara memadai karena berbagai kendala.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, bermain merupakan aktivitas yang sangat disukai anak-anak yang perkembangan pribadinya berlangsung dengan baik. Permainan justru membantu anak-anak mengembangkan ketrampilan sosialnya. Lewat permainan, mereka mengerti aturan sosial, memahami perasaan orang lain, dan mampu membangun kerja sama dengan teman sebayanya. Anak-anak yang tidak suka bermain dan lebih memilih untuk menyendiri justru dicurigai mengalami hambatan dalam perkembangan sosialnya.[2]

Oleh karena itu, guru harus tanggap terhadap kecenderungan ini dan mampu memilih metode yang tepat dalam mengantarkan anak memasuki masa transisinya dari taman kanak-kanak ke sekolah dasar. 

Berangkat dari pendapatnya Elizabeth B. Hurlock, menurut saya sekiranya hal tersebut sudah di realiassikan oleh guru untuk mengatasi masa transisi siswa dari Tk ke SD dengan menggunakan metode-metode seperti; mengelilingi lingkungan sekolah dan memberikan permainan-permainan seperti di TK (permainan bongkar pasang huruf-huruf balok dan permainan dalam bentuk gambar yang siap diwarnai)

Sebagaimana menurut pendapatnya Elizabeth B. Hurlock bahwa bermain adalah aktivitas dan masanya anak-anak dalam kehidupannya. Begitu pula dalam ajaran Islam tidak pernah melarang anak-anak untuk bermain, justru Islam sangat menghargai bahkan mengajarkan anak-anak untuk bermain.

Rasulullah bersabda yang artinya “Barang siapa yang memiliki seorang anak kecil, maka hendaknya dia bergaul dengan dia sesuai dengan akalnya” [3]

Selain kondisi transisional di atas, faktor lain yang juga mempengaruhi kedisiplinan anak adalah pola asuh orang tua. Orang tua yang permisif, serba memperbolehkan anaknya berbuat apapun, mengakibatkan anak tidak terlatih mengendalikan dirinya. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang diatur secara tertib.

Orang tua dengan model penerapan disiplin seperti itulah yang percaya bahwa membesarkan anak sama dengan memberikan kasih sayang yang tiada akhir dan tanpa syarat. Mereka beranggapan dengan cara ini dapat meningkatkan rasa penghormatan diri anak, dan menganggap disiplin sebagai sesuatu yang dingin dan keras. Padahal pemberian model seperti inilah yang nantinya akan merusak dan membingungkan anak.[4]

Cara melatih kedisiplinan siswa

Untuk melatih kedisiplinan siswa, pada umumnya guru disamping menerapkan cara-cara yang sudah baku dan cara yang telah dimodifikasi dengan cara Islami dengan memberikan nasihat-nasihat dan pemberian cerita-cerita yang diadopsi dari ajaran di dalam Al-Quran dan hadis Nabi SAW Sedangkan cara-cara yang bakupun masih banyak yang mereka gunakan, seperti menegur, mengancam akan memberitahukan perilaku siswa pada orang tua, menghukum siswa, memberi hadiah (reward), dan meminta siswa mewarnai gambar di buku pelajaran.

Dalam menerapkan hukuman mereka lebih condong dengan menggunakan pendekatan positif, seperti meminta siswa untuk mengerjakan tugas soal-soal latihan, meminta siswa untuk menghafalkan doa-doa pendek dan ayat-ayat pendek (juz’ama), serta meminta siswa mengerjakan shalat dhuha. 

Sedangkan hukuman dengan pendekatan negatif jarang mereka gunakan, meskipun dalam lapangan masih ada yang menggunakan  pendekatan ini  ada satu atau dua guru saja. Hukuman dengan pendekatan ini seperti halnya meminta siswa yang melanggar peraturan sekolah secara berulang-ulang untuk berdiri di muka kelas, menyapu atau dijewer telinganya. Hukuman negatif ini mereka terapkan pada siswa kelas II dan kelas III, dengan pertimbangan menurut guru yang menerapkan hukuman ini, merasa kalau seumur anak di kelas II dan kelas III sudah matang kondisi kejiwaan dan intelektualitasnya, sehingga mereka tidak khawatir dengan pemberlakuan hukuman tersebut.

Lainhalnya dengan guru yang menerapkan hukuman dengan pendekatan positif, mereka lebih mempertimbangkan pada aspek kejiwaan siswa yang dikhawatirkan nantinya akan melemahkan kondisi mental anak dan ditakutkan nantinya siswa akan mempunyai persepsi yang tidak baik tentang gurunya yang identik dengan kekerasan.

Fote Note
  1. Sinta Ratnawati, Kelurga kunci sukses Anak, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 63
  2. Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 323.
  3. Jauddah M. Awwad, Mendidik Secara Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 16
  4. Darlene Powell Hopson, Ph. D & Derek S. Hopson, Ph. D, Menuju Keluarga Kompak, 8 Prinsip Praktis MenjadiOrang tua yang Sukses, (Bandung: Kaifa, 2002), hlm. 163
Demikian ulasan artikel ini semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya sampai jumpa kembali pada artikel selanjutnya.

Artikel Arwave Blog Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Coment ya sooob...!

Copyright © 2015 Arwave Blog | Design by Bamz