Cara Meningkatkan Kedisiplinan Siswa Dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
Meningkatkan Kedisiplinan Siswa - Kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari yang namanya kedisiplinan siswa dalam proses untuk membangun perkembangan kecerdasan emosi anak. Oleh karena masalah ketidakdisiplinan siswa dominan pada setiap jenjang pendidikan. Berikut ini akan diulas cara guru dalam melatih sikap disipliner pada siswa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).
Menegur siswa
Diantara cara-cara mendisiplinkan siswa, teguran merupakan cara yang seringkali digunakan guru. Cara ini memang dapat segera menghentikan tingkah laku siswa yang tidak dikehendaki guru. Misalnya dengan mengatakan “Ayo, jangan ribut ya…, duduk yang rapi ditempat kalian masing-masing!”. Umumnya siswa langsung merespon teguran tersebut. Tetapi dalam waktu yang tidak lama, mereka bertingkah laku sepeti semula.
Hal ini terjadi karena taguran guru kurang spesifik mengarah pada perilaku siswa yang tidak diinginkannya. Guru cenderung memerintah secara umum, sehingga siswa tidak memahami kesalahannya secara jelas. Seharusnya ketika menegur, guru dapat menyampaikan secara tegas, singkat serta mengungkapkan perasaan ketidaksukannya terhadap perilaku siswa. Misalnya dengan mengatakan “Saya kecewa karena kalian masih mengobrol, padahal sudah dua kali ibu peringatkan!”. Dengan berkata semacam itu, siswa dapat belajar mengerti perasaan guru dan memhami kesalahannya, sehingga diharapkan tidak akan mengulanginya lagi.
Mengancam
Cara ini sebenarnya sudah mendapatkan kritik dari pendidik dan psikolog, namun kenyataannya sering digunakan guru. Ketika teguran tidak berhasil dalam memperbaiki perilaku siswa, guru mengancam siswa dengan mengatakan “Faizir… kalau kamu masih nakal terus, nanti saya beritahu sama ibumu!”. Dangan ancaman seperti ini, guru telah membangun steorotip tentang orang tua siswa sebagai figur yang menakutkan dan tidak mengerti perasan mereka.
Lebih jauh ancaman memberitahuakan pesan kepada siswa bahwa guru tidak menghargai kebutuhan meraka, sehingg membuat siswa merasa gelisah dan tertekan. Sebagaimana telah dijelaskan didalam Al-Quran bahwa salah satu sifat manusia yang berkeluh-kesah apabila mendapatkan cobaan.
Firman Allah dalam Quran surat al-Ma’arij ayat 19-23 yang artinya:
“Sesunguhnya manusia diciptakan keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerajakan shalat, yang tetap berkesinambungan mengerjakan shalatnya” [1]
Mendidik anak dengan ancaman sangatlah tidak tepat apabila diterapka pada anak seusia yang dini, sebab Al- Quran melarang bagi para orang tua dan pendidik supaya mengajarkan anaknya dengan lembut dan kasih-sayang. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Luqman ayat 12 yang artinya sebagai berikut:
“ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. [2]
Di dalam ayat tersbut di atas dalam menyampaikan pesan, Luqman al-Hakim memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh kasih sayang: “Ya Bunayya (Wahai anakku yang masih lugu)”. Panggilan tersebut sangat sesuai untuk anak yang pada fase awal kehidupan mereka.
Ayat tersebut juga mengisyaratkan bagi para pendidik untuk tidak menggunakan pelabelan pada anak yang berperilaku kurang baik, hal ini akan berakibat buruk pada anak karena dapat merusak harga diri dan konsep diri mereka.
Menghukum siswa
Hukuman yang biasanya digunakan guru pada umumya adalah meminta siswa untuk mengerjakan tugas, menghafalkan doa-doa dan surat-surat pendek (juz’ama) ataupun meminta siswa untuk mengerjakan shalat dhuha. Sebagian dari guru-guru ini masih ada yang menggunakan hukuman secara fisik, seperti menyuruh siswa berdiri di depan kelas selama 10 menit, meminta siswa menyapu halaman, ataupun menjewer telinga siswa.
Cara-cara ini boleh saja diterapkan guru, karena dengan menerima hukuman, siswa dapat belajar dari kesalahannya dan mengerti bahwa tingkah lakunya tidak diterima guru. Akan tetapi hendaknya hukuman hendaknya dipilih sebagai alternatif terakhir, setelah guru memakai cara yang lain yang lebih bisa tolerir dan tidak membahayakan kondisi mental anak. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“ Perintahkanlah anak-anak kalian melakukan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika masih meninggalkan) kalau sudah berumur sepuluh tahun.”( HR. Abu Daud dan Tirmidzi) [3]
Satu hal yang perlu menjadi catatan penting untuk para pendidik dalam menerapkan hukuman sebaiknya memperhatikan masalah konsistensi. Bersikap konsisten adalah cara yang terbaik untuk membuat anak mengetahui bahwa guru bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan. Penerapan aturan secara konsisten dan hukuman yang wajar bagi siswa yang melanggar aturannya, akan memberikan efek lebih kuat pada diri anak dalam jangka waktu yang panjang, dibandingkan dengan sikap inkonsistensi yang di sertai hukuman berat.
Di samping menerapkan hukuman pada anak, sebelum diterapkannya hukuman ini siswa diajak oleh guru untuk menentukan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang diperbuat siswa itu terlebih dahulu dimusyawarahkan secara bersama. Jadi dalam usia yang dini ini siswa sudah diajak untuk menentukan keputusan.
Metode memecahkan masalah ini secara tidak langsung akan melatih anak untuk dapat memutuskan masalah secara sistematis dan dengan cara yang logis. Bila anak terlatih dengan pemecahan semacam ini, kelak mereka akan mudah mengenal pemecahan masalah yang dihadapi.
Memecahakan suatu masalah bersama siswa dalam hal mengambil keputusan konsekunsi yang akan diterima siswa bila siswa berperilaku yang melanggar tata tertib, berarti merupakan suatu contoh yang patut ditiru oleh para pendidik yang lainnya, sebab dalam hal ini guru menyadari akan eksistensi siswa yang mempunyai hak untuk bersuara atau mengemukakan suatu pendapat.
Sehingga dapat dikatakan dalam hal ini guru berusaha untuk menghindari sikap kesewenang-wenengan terhadap siswanya, untuk itulah segala sesuatunya yang berhubungan dengan siswa, baik itu bersangkutan dengan penetapan hukuman atau yang lainnya di putuskan bersama siswa dengan cara menjelaskan secara langsung dan sederhana apa yang menjadi keinginan dan harapan guru terhadap siswa, sehingga disini siswa tidak kehilangan haknya untuk bersuara.
Berkaitan dengan masalah tersebut di atas dalam Al-Quran diterangkan secara tersirat adanya sikap empati bahwa untuk menjauhi sikap kesewenang-wenangan dan dilarang menghardik atau dengan kata lain dilarang membentak dalam mendidik anak.
Allah SWT berfirman dalam Quran surat ad-Dluha ayat 9-10 yang artinya sebagai berikut:
"Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta janganlah kamu menghardiknya." [4]
Namun perlu ditegaskan di sini bahwa antara hukuman dengan konskuensi itu berbeda dalam hal antara lain; pertama, konsekuensi membuat anak belajar mengenai sesuatu, sedangkan hukuman jarang sekali memberi pelajaran; kedua, efek samping dari pemberlakuan hukuman adalah anak menjadi pendedam dan sikapnya kasar,sehingga akan menimbulkan hukuman lain, sebaliknya konsekuensi mengajarkan hal baik kepada anak karena menunjukkan perilaku yang benar sebagaimana yang guru inginkan, dengan cara yang konkrit yang mudah dipahami anak; ketiga, dalam menyampaikan dengan cara hukuman biasanya dalam kondisi marah, sebaliknya apabila yang digunakan itu adalah konsekuensi dengan menunjukan rasa sedih dan empati, sehingga konsekuensi yang diberikan menunjukkan bahwa tanggung jawab ada di pundak si anak dan ia tidak bisa berdebat atas konsekuensi yang diterimanya. Hasilnya anak akan belajar mengenai bagaimana harus bersikap baik karena jika ia bertingkah, maka ia sendiri yang akan mengalami kesulitan. [5]
Sebagai catatan tambahan dalam penerapan hukuman yang tentunya berbeda dengan konsekuensi di sini dimaksudkan agar guru lebih baik memilih konskuensi sebagai alternatif pertama dalam menangani masalah perilaku siswa. Sebab bagi anak, konsekuensi terasa seperti hukuman bila tidak disertai dengan persaan empati.
Sebagaimana dalam sabda nabi SAW memberikan pesan agar dapat mengendalikan marah ketika mengahadapi perilaku anak agar tetap tenang sebagai bentuk dalam mengelola emosi diri.
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda yang artinya sebagai berikut:
"bukankah orang yang kuat itu karena banyak berkelahi, hanyalah orang yang kuat itu orang yang dapat mengusai nafsunya ketika marah"”. (HR. Bukhari dan Muslim) [6]
Dari hadits di atas mengisyaratkan bahwa dalam memberikan konsekuensi pada anak tidak dalam keadaan marah, sebab memberikan konsekuensi sesunguhnya mendidik bukannya memaksa, sehingga seorang pendidik harus menyadari apa yang dilakukan.
Mengalihkan Perhatian Siswa
Untuk menghindari kemungkinan siswa membuat keributan di dalam kelas, guru meminta siswa yang sudah menyelesaikan tugasnya untuk mewarnai gambar atau mengisi tugas-tugas yang secara sengaja oleh guru dengan cara mengkopi tugas itu dan diberikannya kepada anak yang cenderung ramai bila sudah mengerjakan tugas. Tugas-tugas yang dikopi ini yang oleh guru dinamakan dengan pengayaan.
Cara yang demikian patut diuji, karena dengan cara tersebut guru dapat mengantisipasi situasi yang tidak diharapkan sekaligus mengalihkan pehatian siswa dari kegiatan yang cenderung membosankan kepada kegiatan yang disukai mereka. Cara seperti itu juga merupakan sarana untuk pelepasan emosi siswa. Dengan cara pelepasan emosi biasanya menadapatkan manfaat yang sehat, di mana pada saat anak yang sedang marah, mereka tanpa disadari membutuhkan alat untuk pelepasan emosinya, sehinggga apabila pelepasannya tidak pada tempatnya jusrtu akan membuat suasana kelas menjadi semakin ramai dan gaduh.
Tapi apabila pelepasan ini ditempatkan pada tempatnya akan menghasilkan kemarahan menjadi akal sehat, seperti dengan menulis puisi atau menggambar. Psikiater Italia Roberto Assagioli mengatakan bahwa menulis adalah katarsis yang hebat. [7]
Selain dengan cara tersebut, untuk mengalihkan perhatian dan kebosanan siswa, guru juga dapat mengajak siswa menggerakkan badannya, menarik nafas yang dalam, dan memainkan pemainan yang ringan.
Memberi hadiah atau ganjaran
Metode ini berangkat dari prinsip yang sangat populer, yaitu jika guru hendak memperbesar atau mengembangkan suatu tingkah laku yang positif, maka diberi sesuatu yang menyenangkan sesudah perbuatan yang dikehendaaki itu dilaksanakanya.
Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang mengisyaratkan adanya urgensi ganjaran dalam mendukung perilaku tertentu yang di tuntut untuk dipelajari. Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah diartikan:
“ Berikanlah upah seorang buruh sebelum kering keringatnya” [8]
Memberi penghargaan atau imbalan kepada anak yang berperilaku baik yang sesuai dengan keinginan guru adalah sangat penting. Namun, di sini perlu diperhatikan bahwa dalam memberikan imbalan ini tidak harus dengan imbalan yang berupa materi (uang, permen atau mainan), melainkan yang lebih berharga dari semua itu adalah pujian dan motivasi yang positif bagi siswa yang dapat meningkatkan harga diri dan rasa tanggung jawab siswa. Berkaitan dengan istilah imbalan (reward), Harris Clemes, Ph. D & Reynold Bean, Ed. M, memberikan istilah reward sebagai hal-hal yang dihargai anak atau hal-hal yang dibutuhkan olehnya. [9]
Pemberian imbalan dalam lapangan, sebagian guru menggunakan dengan pemberian imbalan dalam bentuk non materi yaitu dengan pujian, seperti ketika guru ingin memotivasi siswa untuk meraih prestasi dan semangat dalam belajar. Sebagai contohnya ketika guru meminta siswa untuk maju ke muka kelas untuk membaca buku atau untuk menyanyikan sebuah lagu dalam pelajaran bahasa Indonesia, seketika siswa selesai membacakannya guru tidak segan untuk memberikan pujian dan meminta siswa lainnya untuk memberikan tepuk tangan yang meriah.
Pujian guru terhadap muridnya tersebut dapat membantu percepatan dan kemajuan belajar siswa. Untuk itulah dapat dilihat bahwa mendidik anak dengan ganjaran atau imbalan ini merupakan cara yang efektif bila dibandingkan mendidik anak dengan hukuman (fisik). Hukuman fisik akan menimbulkan pengaruh yang buruk dalam kepribadian seorang murid; yang bisa menyebabkan adanya perasaan rendah diri dan si anak menjadi stres, karena selalu dibawah bayangan hukuman yang menakutkan, terkadang bukannya membuat anak berubah dalam arti positif, tapi berubah ke arah yang lebih buruk.
Memberi nasihat
Sebenarnya, metode mendidik anak dengan nasihat tidak hanya diterapkan untuk melatih kedisiplinan, namun pemberian nasihat ini cakupannya lebih luas, yang mana hampir semua guru menggunakan metode nasihat untuk membimbing dan mendidik anak di semua jenjang pendidikan. Dengan tujuan untuk meningkatkan mutu potensi anak, baik akal, emosi, sosial dan spiritual.
Adapun dalam menerapkan metode ini, guru biasanya menggunakan nasihat-nsihat yang merujuk pada ajaran-ajaran moral dalam agam Islam. seperti halnya ketika guru mengajarkan anak untuk bersikap saling menolong dan toleransi sesama temannya. Dalam melatih persahabatan antar siswa ini, guru mengambil nasihat dalam sabda Nabi SAW yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah SAW khutbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, maka bersabda: "Tangan di atas itu lebih baik dari tangan yang dibawah, tangan yang di atas itu yang memberi dan yang di bawah yang meminta". (Bukhari dan Muslim ) [10]
Dengan memberikan nasihat dapat membukakan mata anak-anak pada hakikat sesuatu, dan mendorongnya menuju situasi luhur, dan menghiasinya dengan akhlak mulia, dan membekalinya dengan prinsip Islam. maka tidak heran, apabila Al-Quran memakai metode ini, yang berbicara pada jiwa dan mengulanginya dalam beberapa tempat dan nasihat seperti dalam Al-Quran surat Luqman dari ayat 12 sampai ayat 19. [11]
Pemberian nasihat dalam mendidik anak ini yang diterapkan oleh guru merupakan cara yang tepat dan sesuai dengan ukuran usia anak di akhir fase perkembangan anak, yaitu antara umur 6-12 tahun. Di usia ini mereka mulai berfikir logis, kritis, sudah mampu membandingkan apa yang di rumah dengan yang mereka lihat di luar dan nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan secara absolut, mulai dianggap relatif. Maka dalam hal ini guru diharapkan mampu menjelaskan, memberikan pemahaman yang sesuai dengan tingkat berfikir mereka di usia dini.
Memberi cerita
Selain memberikan nasihat, guru juga menggunakan media cerita atau dongeng pada siswa. Guru biasanya mengambil cerita yang diberikan pada siswa diambil dari cerita tentang kisah 25 nabi, 30 kisah teladan, kisah Abu Nawas ataupun kisah yng menceritakan tentang nikmatnya surga dan sengsaranya bila ada di neraka.
Di samping cerita tersebut, terkadang guru memberikan suatu kisah yang dihubungkan dengan fenomena alam dan kehidupan sosial dan akhlak manusia. Seperti pada materi pelajaran IPA (Ilmu Pengetahaun Alam), guru menghubungkannya dengan menceritakan tentang tanda-tanda kiamat yang diambil dari ayat Al-Quran, sedangkan pada pelajaran IPS (Ilmu Pengetahaun Sosial) juga dihubungkan dengan hadits-hadits yang memberi pesan pada konsep hubungan antar manusia (Hablumminnas), dan begitu pula guru memberikan ajaran tentang perilaku anak yang harus sesuai dengan akhlakul-karimah yang di hubungkannya dengan materi pelajaran PKn (pendidikan kewarganegaraan), dan sebagainya.
Metode dengan memberikan cerita seperti tersebut di atas membawa pengaruh antusiasme siswa dalam belajar sekaligus lebih membekas dalam jiwa anak yang membawa pesan moral kehidupan yang pada gilirannya dapat membentuk kepribadian anak yang lebih matang pada saat dewasanya nanti.
Pengaruh tersebut berjalan seiring dengan kematangan dan emosi anak yang dalam penyampaiannya dengan argumentasi yang logis . [12]
Sebagaimana dalam firman Allah surat Yusuf ayat 3, yang di dalamnya mengisyaratkan adanya metode pemberian cerita dengan tamsil.
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)-nya adalah temasuk orang-orang yang belum mengetahui” [13]
Fote Note
- Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: katoda, 1992), hlm 974
- Ibid, hlm. 654
- Muhyidin Abdul Hamid, Op. Cit, hlm. 196
- Al-Quran dan Terjemahannya, Op. Cit, hlm.1070
- Ray Levy, Ph. D. & Bill O`Honlon, M. S, L. M. F. T, bersama Taylor Norris Goode, Cara Mmbesarkan Anak yang Suka Melawan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 131-132
- Husein Bahrelz, Kitab al-Jami`ah-Hadist Shahih Bukhari-Muslim, (Surabaya: Karya Utama, 1997), hlm. 240
- Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas,Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intellegence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.139
- DR. M. Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, pengantar: Ary Ginanjar Agustian, (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 162
- Harris Cle mes, Ph. D. & Reynold Bean, Ed. M, Melatih Anak Bertanggung Jawab Petun juk Praktis Bagi Orang Tua dan Guru, (Jalarta: Mitra Utama, 2001), hlm. 44
- Muh. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu' Waal Marjan, terj. Salim Bahresz, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 318
- Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa`, 1981), hlm. 64-65
- Ibid, hlm. 77
- Al-Quran dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm. 348
Demikian artikel tentang Cara Meningkatkan Kedisiplinan Siswa Dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan nantikan artikel selanjutnya tetap di blog kami ARWAVE.
Terimakasih informasinya
BalasHapusterimakasih atas kunjuangannya...
Hapus