Pesantren Sebagai Proses Pembentuk Kedisiplinan
Proses Pembentuk Kedisiplinan - Pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang sudah ada dan mengakar dalam masyarakat Indonesia jauh sebelum
lahirnya system persekolahan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Pesantren pada masa lalu tidak diragukan lagi keberhasilannya dalam
mendidik santri menjadi orang yang shalih dan bermoral tinggi, suatu kualitas
yang tak bisa diabaikan masyarakat yang mendambakan ketenangan dan kedamaian
dalam hidupnya.
Di Indonesia Pesantren bukan
hanya sebagai lembaga pendidikan saja tetapi telah menjadi lembaga sosial dan
penyiaran agama.[1]
Sehubungan dengan itu pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan
masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan bagi kehidupan masyarakat umum yang
memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang
moral kehidupan beragama. Ia telah memainkan peran penting karena merupakan
sistem pembelajaran dan pendidikan tertua di Indonesia dan menjadi sebuah media
sosialisasi formal dimana keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai Islam
ditransmisikan dan ditanamkan.
Pesantren merupakan salah
satu jenis lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional.
Predikat ini dikaitkan oleh Kuntowijoyo dengan ciri-ciri utama, yakni
kurikulum, metode pembelajaran, dan kelembagaan.[2]
Kurikulum dalam kaitan ini memiliki muatan pelajaran agama Islam seluruhnya
ditambah dengan pelajaran ilmu alat, terutama bahasa arab,untuk memahami
teks-teks keagamaan dalam bahasa aslinya yang bertujuan untuk menciptakan dan
mengembangkan kepribadian muslim, mempelajari, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari.
Dalam sistem pendidikan
pesantren terdapat tiga unsur yang saling terkait yaitu: (1) Pelaku:
kiai, Ustadz, santri, dan pengurus. (2) Sarana perangkat keras:
Mesjid, rumah kiai, rumah ustadz, pondok, gedung sekolah, tanah untuk keperluan
kependidikan, gedung-gedung lain untuk keperluan-keperluan seperti
perpustakaan, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi dan lain sebagainya,
dan (3) Sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, sumber belajar yaitu
kitab, buku-buku dan sumber belajar lainnya, cara mengajar (bandongan,
sorogan, halaqah dan menghafal) dan evaluasi belajar– mengajar.[3]
Kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dan
pesantren yang lain.
Pondok pesantren dapat
menghasilkan lulusan yang berkualitas, baik secara intelektual dan perilaku.
Pendidikannya mengharuskan santri tinggal di asrama pondok, selain bertujuan agar
lebih fokus dalam belajar ilmu pengetahuan juga untuk melatihan kemandiriaan
santri.
Dengan semakin berkembangnya
pondok pesantren sebagai institusi pendidikan, berkembang juga cara pengasuhan
terhadap santri, karena santri tinggal di pondok sebagai tempat tinggal
sekaligus tempat untuk hidup mandiri. Dhofir mengatakan Sistem asrama ini
merupakan cirri khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan system
pendidikan lainnya.[4]
Kini cara pengasuhan pondok
pesantren tidak hanya berpusat kepada satu figur kiai saja, akan tetapi para
pengasuh lainnya: ustadz, ustadzah, pembina maupun istilah lainnya. Hal ini
dikarenakan banyak pesantren yang memiliki banyak santri, sehingga dibutuhkan
banyak pembina untuk membina dan mendidik satri di asrama.
Pola asuh yang diterapkan di asrama
cenderung bersifat outhoritarian atau berpusat pada satu figur saja. Melalui
gaya pembinaaan yang seperti ini diharapkan santri akan patuh dan berkembang kearah
yang diharapkan oleh pondok pesantren. Gaya pengasuhan yang authoritarian
berpengaruh terhadap kondisi santri yang tinggal di pondok pesantren bila
dibandingkan dengan pola asuh yang lainnya seperti permisif dan demokratis.
Pengaruh yang menonjol salah satunya terhadap kedisiplinan santri. Oleh sebab
itu Pembina harus membiasakan santri untuk mengikuti serangkaian kegiatan
pondok pesantren dan menaati peraturan yang berlaku. Strategi untuk mencapai
tujuan mendisiplinkan santri antara lain
melalui keteladanan pengasuhnya melalui nasehat-nasehat, bimbingan dan ta’zir
(hukuman).
Menurut gragey dan Madson di
dalam bukunya Moch. Shochib “Disiplin diri anak merupakan produk. Adapun
disiplin dan kepemilikan disiplin memerlukan proses belajar.”[5]
Disiplin menumbuhkan
kematangan dengan fungsi pokok mengajarkan anak menerima pengekangan yang
dilakukan dan membantu mengarahkan energi anak ke dalam jalan yang berguna dan
diterima secara sosial. Kehidupan ini sebagian berisi pelaksanaan kebiasaan dan
pengulangan kegiatan secara rutin dari hari ke hari yang berlangsung tertib. Di
dalam kegiatan dan kebiasaan yang dilakukan secara rutin ini terdapat
nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tolak ukur tentang benar tidaknya
pelaksaannya oleh seseorang. Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang
harus dipatuhi, karena setiap penyimpangan atau pelanggaran akan menimbulkan
keresahan dan kehidupan pun akan
berlangsung tidak efektif, bahkan tidak efesien. Dengan demikian, berarti
manusia dituntut untuk mematuhi berbagai ketentuan atau harus hidup secara
disiplin.
Di atas semua nilai kodrat
itu ternyata Allah SWT sebagai sang pencipta telah menetapkan norma-norma bagi
manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Norma-norma
itu berisi tentang perintah yang dilakukan dan larangan yang harus dijauhi.
Oleh karena itu, nilai-nilai itu disebut juga nilai-nilai al-kodrati. Allah
berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat 37.
وَكَذَٰلِكَ أَنزَلۡنَٰهُ حُكۡمًا عَرَبِيّٗاۚ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا وَاقٖ
Dan
Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar)
dalam bahasa Arab. dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah
datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan
pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.
Dari uraian di atas sudah
jelas bahwa kedisiplinan itu sangat
penting terhadap perkembangan kepribadian anak dan masyarakat sekitarnya. Dalam
mendisiplinkan anak tidak harus menggunakan kekerasan atas hukuman yang
bersifat fisik, namun dapat juga dengan penyadaran melalui ibadah amaliah dan
hukuman yang bersifat mendidik/tarbawi.
Latar belakang santri yang
berbeda-beda dan jumlahnya yang banyak menyebabkan pola asuh dalam mendisiplinkan santri yang diajarkan Pembina
tidaklah mudah dilakukan. Para santri datang dengan membawa kebiasaan
pengasuhan dari orang tuanya masing—masing yang berbeda dan kemudian harus
membiasakan dengan gaya pengasuhan di pondok pesantren. Dengan adanya interaksi
timbal balik antara komponen-komponen pondok pesantren, khususnya hubungan
Pembina dengan santri seta berbagai peraturan dan kegiatan rutin pondok
pesantren lambat laun akan menghasilkan suatu perubahan berupa kedisiplinan santri.
Pondok pesantren yang
menggunakan system asrama dimana jumlah santrinya dikelompokkan dalam jumlah
yang besar dengan tenaga yang minim akan mengurangi intensifnya bimbingan yang
diberikan terhadap santri mukim. Sehingga perlu adanya pola asuh yang intensif
yang diberikan kiai maupun Pembina pondok.
Pondok pesantren al-Fatah
Temboro adalah salah satu pondok besar yang ada di Magetan. Pondok ini memiliki
jumlah santri yang sangat banyak baik santri dalam negeri maupun santri dari
mancanegara. Dengan jumlah santri yang sangat besar dengan jumlah Pembina yang relatif
sedikit, pondok ini mampu menunjukkan bahwa santri-santrinya sangat
berkualaitas baik secara intelektual maupun dalam mematuhi syari’at Islam. Hal
yang sangat menonjol dari pondok pesantren ini adalah santrinya sangat disiplin
baik dalam hal menaati peraturan pondok maupun dalam menjalankan syari’at agama
Islam. Terbukti ketika mengikuti kegiatan pondok semua santri sangat disiplin dalam mengikuti
setiap kegiatan pondok (shalat jama’ah, membaca al-Quran, pengajian kitab,
hafalan-hafalan serta amalan-amalan lainnya) juga peraturan pondok (dilarang
keluar pondok tanpa ijin, memakai jubah dan cadar bagi santriwati, dilarang
bawa HP, dll).
Fote Note
[1] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), 59.
[2] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung; Mizan, 1991), 252.
[3] Mastuhu, Dinamika,
58.
[4] S. Zarkasyi
A., Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), 70.
[5] Moch. Shochib,
Pola Aduh Orang Tua (Jakarta: Rinaka Cipta, 1998), 21.
[6] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota,1987), 401.
Demikian sedikit ulasan tentang Pesantren Sebagai Proses Pembentuk Kedisiplinan semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!