Pemikiran Plato Tentang Pengetahuan (Epistimologi)
Epistimologi - Menurut Plato, Filsafat adalah Ilmu Pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.[1] Pemikiran Plato ini tidak terlepas dari sejarah keemasan filsafat yunani.
Pengetahuan (Epistimologi) Plato
Garis besar filsafat Pengetahuan atau epistemologi Plato (kata Yunani episteme = pengetahuan, maka epistemologi = “logos” atau sabda dan paham tentang pengetahuan tetap bertitik tolak pada Socrates. Plato adalah murid Socrates yang tersohor (427-347). Sampai saat kematiannya, tak satupun pemikiran Sokrates sempat dituliskan. Oleh karena itu, meskipun Sokrates lebih dilihat sebagai pioneer bagi pemikiran filsafat yang berorientasi pada manusia. Namun, Plato adalah tokoh yang menuliskan semua pemikiran gurunya.[2]
Image From content.time.com
Karya Plato sebagian besar terdiri atas wawancara-wawancara Socrates dengan berbagi orang. Dengan demikian, disamping beberapa sumber lain Plato menjadi sumber utama kita mengenai Socrates. Meskipun hal itu tidak boleh kita tafsirkan menurut paham dan tuntutan kita terhadap otentisitas sumber-sumber historis. Plato menggambarkan Sokrates sesuai dengan anggapan dan filsafatnya sendiri. Dan, dalam hal itu ia mengaku diri sangat berhutang budi kepada Sokrates dan cara kerjanya. Karya Plato pun bermutu sastra tinggi bila dilihatdari sudut pandang sastra dan budaya pada lingkungan zamannya. Karya Plato bukanlah suatu karya ilmiah, maka penafsirannya harus memperhatikannuansa-nuansa yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya yang tidak bersifat buku teks filsafat ilmiah.[3]
Filsafat Plato yang sampai pada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan menjadi, antara Satu (Esa) dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Dapat dikatakan, berada antara tegangan memihak Parmenides dan memihak Harakleitos. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang mencari suatu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan dan pengetahuan yang sejati (Yunani: ontos on, benar-benar ada), manakah yang semu (Yunani: doxa, perkiraan atau maya)?. Dalam wawancara-wawancaranya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang diwawancarai menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keraguan-keraguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti atau berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami oleh setiap manusia.[4]
Idea Plato
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dua pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar Wid dengan arti melihat dengan mata kepala maupun menatap dengan mata batin sampai mengetahui.[5]
Menurut Plato, pada awalnya jati diri atau jiwa manusia hidup didunia idea-idea atau surga dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal, jiwa berada didunia fana, maka secara bawaan ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi. Misalnya, idea kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itujatuh dari dunia idea-ide itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam penjara, yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau bayangan dari idea-idea yang semula pernah ditatapnya secara murni. Kemudian manusia ingat akan idea-idea murni itu yang “dahulu kala” ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.[6]
Intuisi Plato
Plato juga memakai perumpamaam-perumpamaan lain dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Pengetahuan sebagai ingatan akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan penamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian, atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila manusia sudah lebih lama terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan sampai sampai idea-idea itu tampil dihadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat ditarik suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Menurut Plato matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna: Tak seorangpun ia izinkan masuk ke dalam “Akademi”nya (nama seorang pejuang kuno) kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal menurunkan kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.[7]
Fote Note
[1] Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, (Pacenongan: Widjaya. 1986), hal. 11.
[2] Kanisius, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1992), hal.12.
[3] Kanisius, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, hal. 12.
[4] Ibid., hal. 13.
[5] Ibid., hal. 13.
[6] Ibid., hal. 13.
[7] Ibid., 14.
Demikian sedikit ulasan tentang Pemikiran Plato Tentang Pengetahuan (Epistimologi) semoga bermanfaat, jangan lupa komen, like and share. Terimakasih atas kunjungannya dan bagi sahabat blog ARWAVE yang menginginkan materi terkait dengan pembahasan saat ini atau yang lain silahkan tulis di kotak komentar.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Coment ya sooob...!